Penatalaksanaan
kerusakan tulang pasca pencabutan dengan teknik bone grafting
Putu
Sulistiawati Dewi
Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
Abstrak
Kerusakan tulang pasca pencabutan
merupakan kondisi patologis hilangnya struktur tulang setelah pencabutan akibat
tekanan yang berlebihan,tidak terkontrol atau kedua-duanya. Untuk mengatasi
masalah itu, dapat dilakukan tindakan bone grafting pada tulang yang
rusak tersebut. Bone grafting merupakan teknik pembedahan untuk
menempatkan serbuk tulang baru ke dalam
rongga tulang yang rusak atau menempatkan serbuk tulang baru pada soket bekas pencabutan. Bone graft dapat berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft) atau berasal dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor atau dari spesies yang sama tapi beda genetik (allograft). Penempatan bone graft setelah pencabutan diharapkan dapat merangsang pertumbuhan tulang yang baru sekaligus mempercepat proses penyembuhan.
rongga tulang yang rusak atau menempatkan serbuk tulang baru pada soket bekas pencabutan. Bone graft dapat berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft) atau berasal dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor atau dari spesies yang sama tapi beda genetik (allograft). Penempatan bone graft setelah pencabutan diharapkan dapat merangsang pertumbuhan tulang yang baru sekaligus mempercepat proses penyembuhan.
Kata
Kunci: kerusakan tulang, bone graft
Korespodensi:
Putu Sulistiawati Dewi, Bagian Ilmu Bedah Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln Kamboja 11a Denpasar,
Telp.(0361) 7424079, 7642701, 261278.
PENDAHULUAN
Tulang merupakan bentukan khusus jaringan ikat yang
tersusun oleh kristal mikroskopik kalsiumfosfat terutama hidroksiapatit
di dalam matrik kolagen. Kerusakan tulang merupakan suatu kondisi patologis
hilangnya stuktur tulang yang disebabkan baik oleh faktor lokal maupun faktor
sistemik. Kerusakan tulang dapat disebabkan karena pencabutan gigi yang
dilakukan dengan tekanan yang berlebihan atau tidak terkontrol atau
kedua-duanya. Pada tindakan pencabutan gigi, dokter gigi harus berusaha untuk
melakukan secara ideal dengan teknik yang benar agar bisa mengatasi kesulitan
selama pencabutan dan mencegah kemungkinan terjadi komplikasi pencabutan gigi.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat di bidang
kedokteran gigi telah memacu perkembangan transplantasi jaringan. Transplantasi
bertujuan untuk melakukan rekonstruksi bagian tubuh yang mengalami kerusakan
oleh karena penyakit maupun trauma. Dalam melakukan rekonstruksi dibutuhkan
jaringan pengganti (graft) yang dapat berasal dari diri sendiri, species
yang sama, maupun species yang berbeda. Pencabutan gigi yang melibatkan
pengambilan tulang tanpa penanganan lebih lanjut akan menimbulkan kerusakan
pada tulang. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan itu, adalah dengan penempatan bone graft pada tulang
tersebut.3 Hampir 90 persen pencabutan gigi mengakibatkan kerusakan tulang
rahang dalam jangka panjang jika tidak mendapat penanganan lebih lanjut,
sehingga rahang tidak berfungsi baik dan kadang diperlukan penggantian tulang
rahang.
Dalam
pelaksanaannya, pemilihan pasien pada kasus kerusakan tulang merupakan hal yang
sangat penting untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.5,6 Perawatan kerusakan
tulang dapat dilakukan dengan memberikan bahan yang dapat merekonstruksi
kerusakan tulang dengan cara merangsang pembentukan tulang baru.
PENCABUTAN
GIGI
Trauma pada gigi atau tulang dapat menyebabkan
berubahnya posisi gigi dari tempatnya, fraktur mahkota maupun akar gigi. Semua
keadaan ini merupakan salah satu penyebab gigi harus dicabut. Trauma yang lebih
berat dapat menyebabkan fraktur tulang rahang dan bila terdapat gigi yang
terletak pada garis fraktur, harus dicabut.
Pencabutan gigi yang ideal adalah mengeluarkan gigi
atau akar gigi secara utuh, dengan trauma jaringan pendukung gigi yang minimal
dan tidak menimbulkan rasa sakit. Kondisi ini membuat luka bekas pencabutan
dapat sembuh dengan sempurna dan tidak menyebabkan masalah prostetik pasca
operasi dimasa mendatang. Stabilisasi gigi di dalam lengkung gigi tergantung
pada keutuhan prosesus alveolaris, ligamen periodontal, serta perlekatan
gingiva. Ekspansi alveolus terjadi akibat penggoyangan gigi, dan biasanya
diikuti dengan sedikit fraktur pada jaringan tulang pendukung. Keberhasilan
pencabutan dengan elevator dan tang tergantung bagaimana kita melonggarkan
alveolus, memutus ligamen periodontal, dan memisahkan perlekatan gingiva, oleh
karena itu diperlukan tekanan yang terkontrol, pada penggunaan alat tersebut.
KERUSAKAN
TULANG
Cacat tulang merupakan suatu kondisi patologik
hilangnya struktur tulang yang dapat disebabkan oleh peningkatan reabsorpsi
secara normal, penurunan formasi tulang pada saat terjadi reabsorpsi secara
normal dan peningkatan reabsorpsi dikombinasikan dengan penurunan formasi
tulang. Kerusakan tulang dapat disebabkan oleh faktor lokal dan faktor
sistemik. Faktor lokal penyebab kerusakan tulang adalah terjadinya inflamasi
dan traumatik oklusi yang menyebabkan penurunan tinggi tulang alveolar bagian
lateral
hingga
permukaan akar. Menurut Sudarto, penyebab utama kerusakan tulang adalah
pencabutan gigi, trauma dan penyakit rahang seperti kista atau tumor rahang.
Kerusakan tersebut sebagian besar (90%) disebabkan karena tindakan pencabutan
gigi, terutama yang tidak mendapat penanganan lebih lanjut.
Reaksi pemulihan setelah pencabutan gigi akan
berlangsung lama dan tidak akan dapat pulih seperti semula. Gusi cenderung
mengempis karena semakin jarang digunakan atau beraktivitas. Hal ini akan
berpengaruh pada kondisi tulang gigi, dan selanjutnya akan mengganggu dan menyulitkan
pergerakan rahang. Kehilangan gigi dapat diatasi dengan memakai gigi tiruan,
namun kerusakan tulang dan pengempisan gusi tidak dapat diatasi sehingga
terkadang pasien mengeluhkan gigi tiruannya tanggal. Bone grafting
dilakukan untuk merekonstruksi kerusakan-kerusakan tulang yang terjadi.
PERAWATAN
CACAT TULANG
Prognosis keberhasilan perawatan suatu cacat tulang
dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu: banyaknya dinding tulang yang tersisa,
luasnya daerah cacat tulang, banyaknya permukaan akar yang terlibat, luasnya
destruksi tulang, kemampuan untuk melakukan detoksifikasi dan debridemen pada
daerah cacat. Semakin banyak jumlah dinding tulang dan semakin sempit daerah
cacat semakin baik pula prognosisnya. Menurut Manson dan Eley, kegagalan suatu
perawatan kerusakan tulang dapat disebabkan oleh faktor pemilihan kerusakan
yang keliru, kegagalan untuk menutup flap dengan sempurna di atas kerusakan
tulang serta adanya infeksi dan disintegrasi dari bekuan darah.
Menurut Yukna, perawatan kerusakan tulang dapat
dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu : 1) Flap/kuretage/ debridement :
beberapa laporan menunjuk- kan bahwa pembedahan seperti ini dapat menghasilkan
peninggian tulang pada daerah kerusakan dan perawatan ini sangat baik pada
kerusakan tulang pada 3 dinding yang sempit, 2) Regenerasi jaringan
terpadu: sebagian besar kerusakan infraboni, kelainan furkasi
derajat II dan dehiscense menunjukkan hasil yang baik terhadap terapi
ini. Pemilihan pasien dan jenis kerusakan yang akan dirawat berperan
penting bila biaya yang harus dikeluarkan merupakan suatu pertimbangan, 3)Ekstraksi
selektif dan pergerakan gigi minor: bertujuan untuk memberikan prognosis
pada gigi sebelahnya, sehingga daerah soket bekas pencabutan akan terisi
dan dapat memberikan dukungan yang lebih baik.5,6
BONE
GRAFT
Bone graft adalah
tulang yang sudah mati, tetapi masih dapat dimanfaatkan untuk rehabilitas
kerusakan tulang setelah melalui proses tertentu. Bone grafting merupakan
pembedahan untuk menempatkan tulang baru ke dalam rongga tulang yang rusak atau
di antara lubang dan tulang mati. Tulang yang baru dapat berasal dari tulang
yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft), atau berasal dari proses
pembekuan tulang orang lain atau donor atau species yang sama tetapi beda
genetik (allograft) .Graft dapat berupa bubuk, bentuk pipih,
batangan, dan kubus. Bahan bone graft merupakan suatu biomaterial yang
memiliki sifat biokompatibilitas sehingga dapat diterima oleh tubuh dan tidak
mempunyai pengaruh toksik atau menimbulkan jejas terhadap fungsi biologis. Bone
graft dapat dipergunakan untuk memperbaiki tulang yang rusak (fraktur) yang
disertai kehilangan tulang, memperbaki tulang yang rusak yang sudah tidak dapat
disembuhkan dan tidak dapat digerakkan lagi atau dapat digerakkan tapi tidak
normal, dan sebagai penyambung untuk mencegah pergeseran tulang.
Beberapa aplikasi bone grafting di dalam
mulut adalah: menumbuhkan tulang yang hilang akibat penyakit gusi, membentuk
tulang rahang yang tidak memadai (defisiensi) untuk melakukan dental implant
(hal ini dilakukan jika gigi asli yang hilang pada daerah tersebut terjadi
pengurangan massa tulang), menempatkan graft pada daerah sinus untuk
pemasangan implant (kehilangan gigi dalam jangka waktu yang panjang akan
menyebabkan kehilangan dasar dari tulang rahang atas, sehingga perlu dilakukan grafting
untuk penempatan implant) dan memperbaiki kerusakan tulang rahang akibat
infeksi gigi atau gigi impaksi.
Jenis-Jenis
Bone Graft
Persyaratan dasar bahan graft adalah harus
dapat diterima secara imunologis dan harus mempunyai potensi osteogenik serta
harus mempunyai sifat osteokonduksi dan osteoinduksi. Bone graft dapat dikelompokkan
menjadi empat tipe umum yaitu autograft apabila tulang diambil
dari individu yang sama, allograft apabila tulang diambil dari
individu yang beda dengan spesies yang sama, xenograft, apabila
tulang diambil dari spesies yang berbeda serta graft bahan sintetis.
Autograft
Bahan autograft terdiri dari tulang kortikel,
konselus, atau kombinasi keduanya dan bisa didapatkan dari ekstra
oral ataupun intra oral. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa tulang konselus
memiliki kemungkinan keberhasilan yang lebih besar. Hal ini
disebabkan tulang konselus memiliki komposisi yang kurang padat.
Walaupun demikian tulang ini lebih sulit diambil dan biasanya tersedia dalam
jumlah yang terbatas. Oleh karena itu sebagian besar kasus
kerusakan tulang diisi dengan kombinasi tulang kortikol dan konselus
dengan prosentase tulang kortikol yang lebih besar. Tulang yang berasal dari
intra oral dapat diambil dari koagulum tulang, tuberositas
maksila, soket bekas pencabutan atau linggir tak bergigi.
Penggunaan
sumsum tulang dari daerah ekstra oral memiliki beberapa kerugian seperti
prosedur pengambilannya yang memakan waktu lama, biaya mahal serta sering
berefek traumatik terhadap pasien. Bahan dari luar mulut dapat diambil dari
tulang Ilium.
Allograft
Bahan Allograft merupakan bahan yang diambil
dari individu yang berbeda sehingga dapat menimbulkan respon jaringan yang
merugikan dan respon penolakan hospes, kecuali diproses secara khusus. Berbagai
usaha yang dilakukan untuk menekan reaksi antigenik adalah dengan proses
radiasi, pembekuan atau kimia.
Xenograft
Bahan Xenograft biasanya diambil dari lembu
atau babi untuk digunakan pada manusia. Graft hidroksiapatit yang
berasal dari lembu dibuat melaui proses kimia (Bio-oss) atau pemanasan
tinggi (osteograft/N) untuk menghilangkan bahan organik. Proses ini
menghasilkan suatu hidroksiapatit alami tulang manusia. Bentuk
lain dari xenograft adalah emdogain, suatu kelompok protein
matrik email yang diambil dari babi. Bahan ini nampaknya dapat mendorong
pembentukan cementum yang kemudian diikuti oleh deposisi tulang.
Teknik
Bone Grafting
Bone graft ditempatkan
dengan pasak, papan berlapis besi atau skrup kemudian dijahit tertutup. Splin
atau cast biasanya dipergunakan untuk mencegah kerusakan. Untuk perawatan
kerusakan tulang dilakukan dengan teknik full thickness flap yaitu
pembersihan jaringan granulasi, kemudian lakukan detoksifikasi permukaan akar
untuk memudahkan masuknya pembuluh darah dan sel yang baru, lalu tempatkan
bahan bone graft ke bagian tulang yang rusak, padatkan dengan tekanan
ringan hingga sedikit lebih ke koronal dan pasang dressing, kemudian berikan
instruksi pada pasien baik secara lisan maupun tertulis untuk memperkecil
kemungkinan komplikasi.
PENATALAKSANAAN
BONE GRAFTING
Tahapan bone grafting pada kerusakan tulang
pasca pencabutan adalah sebagai berikut: 1) Setelah gigi dicabut, soket ditekan
dengan tampon untuk mengontrol perdarahan sehingga daerah bekas pencabutan terlihat
jelas. 2) Dilakukan asepsis dan debridemen (pengambilan jaringan
granulomatous). Sebelum penempatan bahan bone graft ke dalam soket,
semua jaringan granulomatous harus dibersihkan dengan alat kuret atau alat
bedah lain yang mempunyai fungsi seperti kuret. Apabila jaringan nekrotik tidak
diangkat, maka kemungkinan infeksi dapat terjadi dan pembentukan tulang baru
tidak akan terjadi meskipun diisi dengan bahan bone graft. 3) Evaluasi
dinding tulang yang masih ada setelah pencabutan dan ukuran kerusakannya.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi sisa dinding tulang pada
soket. Faktor yang menentukan banyaknya sisa dinding tulang antara lain adalah
parahnya infeksi pada gigi, variasi anatomi dan teknik pencabutan. Apabila
dinding tulang fasial rusak, barrier membran digunakan untuk mengisi bahan bone
graft. Kegunaan barrier dapat menjaga perkembangan jaringan fibrus. Membran
yang dipakai dapat resorbable atau non resorbable. Membran resobable mempunyai
banyak keuntungan untuk grafting pada tempat pencabutan. Jika garis
incisi terbuka selama penyembuhan, membran non resorbable akan terinfeksi dan
mengurangi jumlah regenerasi tulang. 4) Menjamin suplai darah yang adekuat ke
daerah sel osteoprogenitor dan sebagai faktor pertumbuhan tulang. Tanpa adanya
suplai darah yang adekuat, proses grafting tidak akan berhasil. Jaringan
lunak akan mensuplai darah ke daerah graft, sel osteoprogenitor hanya memperoleh
suplai darah dari tulang yang berdekatan. Jika dinding tulang mengalami
perdarahan setelah pencabutan, suplay vaskuler ke graft akan terjamin.
5)Memilih bahan graft yang akan ditempatkan pada tulang yang rusak.
Walaupun sulit didapat tulang autogenus dapat memberikan hasil yang baik
karena terdapat elemen-elemen sel-sel yang hidup dan masih aktif sehingga
memungkinkan pertumbuhan tulang. Bahan graft dari tulang sintetis atau
bahan graft lainnya (PepGen P-15) merupakan bahan graft yang
baik dan banyak digunakan sebagai bahan pengganti. 6)Penempatan bahan graft sintetis
ke dalam soket bekas pencabutan, kemudian dilakukan penjahitan pada jaringan
gusi yang bertujuan untuk penyembuhan di sekitar jaringan lunak. Setelah
beberapa waktu diharapkan bahan graft akan mulai meresorbsi dan
merangsangpertumbuhan tulang yang baru.

Gambar
1. Penempatan bahan graft sintetis ke soket gigi
PEMBAHASAN
Komplikasi pencabutan gigi bervariasi dan dapat
terjadi meskipun sudah dilakukan tindakan sebaik mungkin. Salah satu komplikasi
yang dapat terjadi adalah kerusakan tulang alveolar. Untuk mengetahui adanya
kerusakan tulang adalah dengan melihat ada tidaknya fragmen tulang alveolar
yang menempel pada akar gigi tersebut. Hal ini dapat terjadi bila tulang
alveolar terjepit secara tidak sengaja di antara ujung tang pencabut gigi atau
adanya kelainan, misalnya ada infeksi pada tulang. Pencabutan gigi kaninus
terkadang disertai komplikasi fraktur tulang labial khususnya bila tulang
alveolar diperlemah dengan pencabutan gigi incicivus kedua atau dari gigi
premolar pertama sebelum pencabutan gigi kaninus. Bila ketiga gigi ini hendak dicabut
pada satu kali kunjungan, insiden fraktur tulang alveolar dapat bertambah.
Gigi yang mengalami infeksi biasanya dikelilingi
oleh tulang yang telah rusak atau hancur. Setelah gigi dicabut, akan terjadi
resorbsi tulang sehingga selanjutnya menyebabkan terganggunya estetik,
prostetik dan struktur tulang. Untuk mengkoreksi kerusakan tulang tersebut
dapat dilakukan penambahan bahan dengan teknik Bone grafting yaitu
prosedur pembedahan untuk menempatkan bahan tulang pengganti ke dalam tulang
yang rusak sehingga dapat menggantikan/menyambung tulang yang hilang atau
menempatkan bahan graft ke dalam soket gigi setelah pencabutan. Penggunaan Bone
graft bertujuan untuk mengembalikan kehilangan atau kerusakan tulang yang
disebabkan oleh penyakit periodontal, trauma atau sakit akibat pemakaian gigi
tiruan lepasan. Bone graft juga digunakan untuk menambah tulang untuk
penempatan implant, untuk meningkatkan estetik daerah-daerah pada gusi yang
hilang di daerah senyum dan mempercepat proses penyembuhan . Ketika satu gigi
dicabut, tulang di sekitar akan kolaps sehingga bone graft merupakan
indikasi.
Kerusakan tulang pasca pencabutan dapat menimbulkan
dampak negatif dari segi estetik, prostetik dan struktur tulang. Kerusakan
tersebut dapat dikoreksi dengan teknik bone grafting, yang berfungsi mengembalikan
kerusakan tulang atau merangsang pembentukan tulang baru.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Munadziroh, Rubianto M, Meizarini A. Penggunaan bone gaft pada perawatan
kerusakan tulang periodontal. Indonesian Journal of Dentistry 2003; 10
(edisi khusus): 520-25.
2.
Howe GL. Pencabutan gigi-geligi (The Extraction of teeth), Johan Arief Budiman
(penterjemah). 2ed Jakarta: EGC. 1999.
3.
Sudarto W. Cabut gigi tanpa penanganan lanjut. Kompas. 2006
4.
Ashman A, Pinto JL. Placement of implant into ridges grafted with bioplant HTR
syntetic bone: histological long-term case history report. Journal of oral
implantology 2000; 26(4): 276-90
5.
Yukna RA. Pelaksanaan cacat tulang: Graft pengganti tulang. In: Fedi PF,
Vernino AR, Gray JL. Silabus Periodonti 2000. 4ed Jakarta: EGC: 125-33.
6.
Yukna RA, Evans GH, Aichelmann-Reidy MB. Clinical comparison of bioactive glass
bone replacement graft material and expanded poly tetrafluoroethylene barrier
membrane in treating human mandibular molar class II furcations. J
Periodonto 2001; 72(2): 125-33
7.
Pedersen GW. Buku ajar praktis : Bedah Mulut, Purwanto dan Basoeseno
(penterjemah). Jakarta: EGC.1996.
8.
Carranza FA, McClain P, Schallorn R. Regenerative osseous surgery. In: Newman,
Takei, Carranza, Carranza’s clinical periodontology. 9ed Philadelphia: WB
Saunders Co. 2002.
9.
Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. Silabus periodonti 2005 (The Periodontic
syllabus), Amaliya (penterjemah). 4ed Jakarta: EGC.
10.
Manson JD dan Eley BM. Buku ajar periodonti, Anastasia S (penterjemah).
Jakarta: Hipokrates. 1993.
11.
Winter R, Nemeth JR. Dental health directory: bone and tissue grafting
1999-2007.Available from: URL:http://www.dental-health.com. Accessed May 12,
2006.
12.
Tischler M, Misch CE. Extraction site bone grafting in general dentistry:
review of application and principle. Available from : URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd
Den Today; 23(5): 108- Accessed May 30, 2004.
13.
Artistic Dental Associates. Bone resorbtion occurs after tooth extraction.
Available from:
URL:http://artisticteeth.com/Pt_edu/bone_grafting.
Accessed sept 12, 2006.
Vol5No2
Asimetri
dental dan wajah
Surwandi
Walianto
Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
Orthodontic
treatment has been associated with dental and facial esthetics. In orthodontic
diagnosis and treatment planning, it is important to recognize asymmetry.
Undiagnosed asymmetry may cause treatment time to be prolonged due to in change
in treatment plan. The cause of facial asymmetry fall into three main
categories: trauma related, development defect, or pathology. Asymmetry can be
classified into dental, skeletal, muscular, functional, or combination. In
diagnosing facial and dental asymmetry, clinical examination and radiographic assessment
are necessary to determine the extent of the soft tissue, skeletal and muscle
involvement. Clinical evaluation is most important in the diagnosis of asymmetry
to assess optimal relationship between dental and skeletal. It is necessary to
supplemented diagnostic records by photographs, PA radiograps, study models,
facebow transfers.
Key
words: asymmetry, dental, facial.
Korespondensi:
Surwandi Walianto, Bagian Ortodonsia. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361)
7424079, 7642701, Fax.(0361) 261278
PENDAHULUAN
Saat merawat pasien ortodontik, sering ditemukan
adanya ketidaksimetrisan pada dental atau wajah dari penderita yang merupakan
keluhan dari pasien, maupun yang tidak disadari oleh pasien yang datang.
Perawatan ortodontik adalah perawatan yang berhubungan dengan estetika dental
dan wajah, oleh karenanya pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan
harus diketahui adanya asimetri pada dental dan wajah sehingga didapatkan hasil
perawatan yang simetris dengan berimpitnya garis tengah dental rahang atas dan
rahang bawah serta garis tengah wajah. Hal ini penting karena pasien datang ke
dokter gigi adalah untuk memperbaiki susunan gigi atau penampilan wajahnya.
Bila saat melakukan perawatan ortodontik kita tidak menyadari adanya asimetri, akan
membuat jangka waktu perawatan menjadi lebih lama karena harus melakukan
perubahan pada rencana perawatan.
Relasi oklusi asimetri dapat diakibatkan oleh
asimetri pada lengkung gigi atau asimetri relasi skeletal antara maksila dan
mandibula. Bila dilakukan pengamatan yang teliti pada wajah, dapat ditemukan
beberapa tingkatan asimetri pada seluruh wajah. Asimetri terutama terlihat pada
jaringan lunak, dan jaringan keras mempunyai peran yang besar terjadinya
asimetri. Banyak metode digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai besarnya
asimetri, termasuk evaluasi proporsi vertikal dan horisontal wajah dengan
menggunakan foto wajah, analisis radiografik atau pemeriksaan klinis secara
langsung.
ASIMETRI
Kesimetrisan adalah adanya kesesuaian ukuran, bentuk
dan susunan pada bidang, titik atau garis pada sisi yang lain. Faktor-faktor
yang mempengaruhi ketidaksimetrisan/asimetri dentofasial adalah kompleks yaitu tidak
terbatas pada gigi dan prosesus alveolaris saja, tetapi juga seluruh komponen
wajah dan seluruh struktur di sekitar gigi. Asimetri dentofasial kompleks dapat
terjadi unilateral atau bilateral, jurusan anteroposterior, superoinferior dan
mediolateral. Asimetri wajah dapat terjadi pada individu dengan oklusi yang
baik, sedangkan
asimetri
dental dapat terjadi individu dengan wajah yang simetri, dan keduanya dapat
pula terjadi pada individu yang sama.2
PREVALENSI
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat untuk
mengetahui prevalensi asimetri pada remaja yang dirawat ortodontik,
memperlihatkan hasil bahwa asimetri yang terbanyak adalah deviasi garis tengah
mandibula terhadap wajah (62%), diikuti tidak berimpitnya garis tengah kedua
rahang (46%), deviasi garis tengah rahang atas terhadap garis tengah wajah (47%
pada geligi campuran dan 33% pada geligi permanen), asimetri gigi molar kiri
dan kanan pada bidang anteroposterior (22%), asimetri oklusal rahang atas (20%)
dan asimetri oklusal rahang bawah (18%).4 Hal ini memperlihatkan bahwa asimetri
merupakan hal yang sering ditemui pada kasus-kasus ortodontik.
Sedangkan prevalensi pada remaja yang tidak dirawat
ortodontik memperlihatkan hasil sebagai berikut : asimetri molar (30%), garis
tengah yang tidak berimpit ( 21%), wajah yang asimetris (12%) dan terlihat hubungan
yang bermakna secara statistisk antara asimetri molar dengan asimetri wajah,
garis tengah yang berimpit, dan ras.
ETIOLOGI
Penyebab dari asimetri tersebut sangat beragam dan
berbeda pada tiap individu. Pada beberapa pasien disebabkan karena erupsi gigi
yang tidak normal, gigi sulung yang tanggal terlalu dini, atau akibat
pencabutan gigi permanen. Pada pasien yang lain dapat disebabkan kelainan skeletal
yang meliputi maksila atau mandibula.5 Meskipun penyebabnya sangat beragam,
kelainan-kelainan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu
defek perkembangan, trauma, patologi.
ASIMETRI
WAJAH
Asimetri wajah merupakan ketidakseimbangan yang
terjadi pada bagian yang homolog pada wajah dalam hal ukuran, bentuk dan posisi
pada sisi kiri dan kanan. Karena wajah yang asimetri sering disertai ketidaksimetrisan
dental, maka keadaan ini merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam merawat
suatu maloklusi. Dalam mendiagnosis harus diketahui bahwa asimetri wajah
merupakan fenomena alami dan bukanlah merupakan hal yang abnormal. Asimetri
keseluruhan struktur wajah dapat dideteksi dengan cara membandingkan bagian
yang homolog pada sisi sebelah dari wajah yang sama, distorsi pola pertumbuhan
karena luka atau penyakit dapat menimbulkan asimetri yang parah,
ketidaksimetrisan struktur wajah tidak mutlak dapat dirawat dengan perawatan
ortodontik.2
Pada penelitian yang dilakukan pada individu dengan
wajah yang secara estetik tampak menyenangkan ternyata mempunyai struktur wajah
yang asimetri pada pemeriksaan dengan posteroanterior sefalogram. Asimetri
dentofasial terbanyak terjadi pada mandibula karena didukung jaringan lunak
bagian bawah lebih banyak, sedangkan maksila lebih sedikit terjadi asimetri
karena jaringan lunak sekitarnya lebih sedikit. Asimetri pada maksila biasanya
merupakan akibat dari pertumbuhan mandibula yang asimetri. Asimetri dapat diklasifikasikan
sebagai dental, skeletal, otot dan fungsional.
ASIMETRI
DENTAL
Asimetri
dental dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara jumlah gigi dengan
lengkung gigi yang tersedia, ketidakseimbangan antara jumlah gigi rahang atas
dan bawah pada segmen yang sama, ketidakseimbangan antara lengkung gigi rahang
atas dan bawah secara keseluruhan atau sebagian. Deviasi garis tengah merupakan
hal yang umum dan sering ditemui oleh ortodontis. Hal ini terdapat pada seluruh
tipe kasus tapi yang paling sering adalah pada maloklusi klas II. Penyebab
deviasi garis tengah dapat berupa: gigitan silang posterior karena pergeseran
mandibula, pergerakan gigi anterior atas atau bawah, pergeseran ke
lateral mandibula (tidak terdapat gigitan silang), asimetri lengkung gigi, atau
kombinasi keempat faktor diatas.
DIAGNOSIS
Langkah pertama dalam mendiagnosis adalah menentukan
ketidaksimetrisan yang terjadi akibat kelainan skeletal atau dental. Untuk
mendiagnosis asimetri dental atau skeletal, dapat dilakukan dengan pemeriksaan
klinis dan radiografik yang menyeluruh pada skeletal, gigi, fungsional dan pola
jaringan lunak wajah.
A.
Pemeriksaan Klinis
1).Pemeriksaan
kesimetrisan wajah pada pasien dengan posisi natural head, mandibula
dalam keadaan relasi sentrik, dan jaringan lunak dalam keadaan istirahat.8
Pasien duduk di kursi dan pemeriksa berdiri tepat di depannya. Langkah pertama
adalah membuat garis tengah wajah, dapat dilakukan dengan bantuan dental
floss yang ditarik pada bidang sagital mulai dari atas kepala sampai
bagian terbawah dari dagu. Garis yang terbentuk membagi dua alis mata, mata, zygoma,
lubang hidung, bibir, philtrum, sudut gonial.
2).Evaluasi
garis tengah dental pada posisi mulut terbuka, relasi sentrik, kontak dini,
oklusi sentrik.
3).Evaluasi
pergeseran anteroposterior unilateral: kelainan yang terjadi karena perbedaan
dalam ukuran, bentuk, posisi dari kedua sisi wajah dalam jurusan
anteroposterior horisontal. Gambar 2 memperlihatkan pandangan frontal dan
lateral pasien dengan kelainan asimetri karena pergeseran posterior unilateral.
Pandangan inferior memperlihatkan jarak sudut gonial kanan ke ujung dagu pasien
lebih pendek dibandingkan sisi kiri. Pada pemeriksaan maksila, tidak tampak
adanya perbedaan panjang maksila kiri dan kanan. Relasi oklusi gigi
memperlihatkan relasi molar Klas I Angle pada sisi kanan, dan Klas II Angle
pada sisi kiri. Relasi ini tetap saat posisi istirahat. Pada pandangan oklusal,
gigi molar kanan dan kiri tidak
memperlihatkan
perbedaan antero- posterior, sedangkan pada mandibula, terlihat gigi molar
permanen pertama, gigi molar sulung pertama, kedua dan kaninus sulung lebih ke
anterior dibandingkan sisi kiri.12


Gambar
2. Asimetri yang disebabkan oleh pergeseran posterior unilateral mandibula
sebelah kiri.12
4).
Evaluasi pergeseran vertikal : asimetri yang diakibatkan perbedaan tinggi dalam
ukuran, bentuk, posisi bagian–bagian dentofasial pada kedua sisi wajah. Gambar
3 memperlihatkan pasien dengan gigi dan bibir dalam keadaan berkontak. Garis
terputus–putus menggambarkan ramus mandibula sebelah kanan lebih tinggi dibandingkan
sebelah kiri. Gambaran intra oral memperlihatkan pengaruh asimetri terhadap
bidang oklusal. Pada sisi kanan pasien, terlihat bagian maksila lebih besar dan
ramus mandibula lebih panjang, bidang oklusalnya lebih rendah. Pada sisi kiri,
maksila lebih kecil, ramus mandibula lebih kecil, dan bidang oklusal
lebih
tinggi.

Gambar
3. Asimetri karena pergeseran vertical.12
Pasien
dengan pergeseran dalam jurusan vertikal (Gambar 4), terlihat mata kiri lebih
tinggi
dibandingkan
mata kanan. Tulang pipi dan telinga sebelah kiri juga tampak lebih tinggi
dibandingkan yang kanan. Maksila sebelah kiri lebih besar dibandingkan yang
kanan, dan ramus sebelah kiri lebih panjang dibandingkan sebelah kanan.
Gambaran oklusi intra oral memperlihatkan perbedaan tinggi bidang oklusi pada sisi
kiri dan kanan.

Gambar
4. Gambaran klinis asimetri karena pergeseran vertikal.
5).
Evaluasi pergeseran dalam jurusan lateral: merupakan asimetri yang diakibatkan
adanya perbedaan pada jurusan lateral horisontal dalam ukuran, bentuk, posisi
bagian–bagian dentofasial pada sisi kiri dibandingkan dengan yang kanan. Pasien
dengan kelainan ini (Gambar 5), pada pandangan inferior terlihat ujung dagu bergeser
ke arah kanan terhadap bidang tengah sagital. Mata kiri tampak lebih tinggi.
Muka bagian bawah memperlihatkan sudut gonial kanan lebih ke lateral terhadap
bidang tengah sagital dibandingkan sisi kiri. Telinga sebelah kanan lebih
posterior dibandingkan dengan sisi lawannya. Intra oral memperlihatkan gigitan silang
pada gigi molar permanen , molar sulung dan kaninus sulung. Pada sisi kiri
terlihat perkembangan yang normal. Garis tengah dental mandibula yang bergeser
ke kanan saat oklusi dan relasi bukolingual yang merupakan gigitan silang,
tetap dalam posisi tersebut saat posisi istirahat.


Gambar
5. Asimetri karena pergeseran horizontal.
6).
Evaluasi pergeseran rotasi: pergeseran rotasi adalah suatu asimetri yang
disebabkan pergeseran seluruh bagian maksila atau mandibula. Pada Gambar 6
terlihat seorang wanita dengan pergeseran rotasi pada mandibula dan pergeseran
anterior unilateral pada maksila kiri. Pergeseran rotasi pada mandibula dilihat
pada pandangan inferior mandibula. Ujung dagu dan sudut gonial menentukan
adanya rotasi pada mandibula. Pada kelainan tersebut, seluruh mandibula
berputar ke arah kanan akibatnya sudut gonial kiri lebih ke anterior dari
sebelah
kanan,
dagu akan tampak lebih ke kanan terhadap bidang tengah sagital.


Gambar
6. Pergeseran berputar keseluruhan mandibula ke kanan, dan pergeseran ke
anterior maksila kiri.
B.
Pemeriksaan radiografik
1).
Panoramik radiografik: pemeriksaan ini berguna untuk melihat gigi dan struktur
tulang, bentuk kondil dan ramus mandibula kiri dan kanan dapat diperbandingkan.
2).
Posterior-anterior sefalogram: teknik ini sangat berguna untuk mempelajari
struktur bagian kiri dan kanan wajah, dapat digunakan dengan oklusi sentrik
maupun dengan mulut terbuka untuk melihat adanya deviasi fungsional.
3).
Submental vertex radiografik: melihat asimetri pada mandibula, zygoma,
zygomatic arches.
DISKUSI
Asimetri dental dan wajah secara struktural dapat
diklasifikasikan sebagai kelainan dental, skeletal, otot, dan fungsional.
Asimetri dental dapat disebabkan oleh kehilangan gigi sulung secara dini,
kehilangan gigi secara kongenital, kebiasaan jelek seperti mengisap ibu jari,
dan bentuk lengkung gigi yang tidak simetris. Asimetri skeletal dapat pula
disebabkan oleh kelainan pada maksila atau mandibula atau meliputi kedua
rahang. Kelainan hemifasial atrophy dan cerebral palsy dapat
menyebabkan asimetri wajah dan dental karena pengaruh otot-otot yang terlibat.
Asimetri karena fungsional biasanya disebabkan oleh karena adanya gangguan yang
menghalangi terjadinya intercuspation yang benar pada relasi sentrik.
Penyebabnya dapat berupa kontriksi rahang atas atau posisi gigi yang salah.
Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kontak dini saat relasi sentrik yang
mengakibatkan terjadinya pergeseran mandibula.
Kelainan-kelainan tersebut di atas dapat terjadi
secara bersamaan, sehingga kita harus dapat\ mendiagnosis dengan benar supaya
dapat membuat rencana perawatan yang tepat. Diagnosis adanya asimetri pada
dental dan wajah dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
radiografik atau dapat pula dengan menggunakan foto pasien. Teknik pemeriksaan
tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masingmasing. Radiografik Panoramik
mempunyai kelemahan yaitu distorsi geometrik karena karakteristik dari proyeksinya
membuat pembesaran yang terjadi tidak merata. Posterior-anterior sefalogram
mempunyai keuntungan dibandingkan panoramik yaitu pembesarannya lebih merata
karena jaraknya dari sumber sinar relatif sama, lebih akurat membandingkan
bagian kiri dan kanan wajah karena dapat dibuat garis tengah wajah dan
gigigeligi. Pemeriksaan menggunakan foto dan radiografik tidaklah sebaik
pemeriksaan klinis karena mereka mempresentasikan rekaman yang statis pada satu
posisi saat gambar tersebut dibuat. Jika pasien salah dalam posisi mandibula
atau posisi kepala miring akan menyebabkan foto atau posterior-anterior
sefalogram tidak akurat.
Analisis frontal sefalogram dalam pelaksanaannya
sulit mendapatkan postur kepala yang tepat, dan terjadinya superimpos juga
menyebabkan kesulitan dalam identifikasi landmark. Akan tetapi
posterior-anterior sefalogram mempunyai kelebihan yaitu dapat mengukur
bermacam-macam lebar dental dan skeletal serta asimetri skeletal. Pemeriksaan
secara klinis sangat penting dalam mendiagnosis asimetri karena bisa memeriksa pasien
dalam relasi sentrik, oklusi sentrik, dan dapat dilakukan penyesuaian pada saat
itu juga bila posisi pasien tidak benar. Pemeriksaan klinis memerlukan
pemeriksaan tambahan seperti foto, model, facebow transfer, agar lebih
akurat.
Asimetri wajah dan dental dapat disebabkan karena
kelainan pada struktur dental, skeletal, otot, dan fungsional, serta dapat
terjadi secara bersama-sama pada individu yang sama. Oleh sebab itu dalam
mendiagnosis asimetri dental dan wajah memerlukan pemeriksaan yang teliti dan
hati-hati. Pemeriksaan klinis memegang peranan yang sangat penting dalam
mendiagnosis asimetri dental dan wajah pada pasien ortodontik karena posisi
pasien
dapat diatur dan disesuaikan pada posisi yang benar. Untuk mendapatkan hasil
yang akurat diperlukan juga pemeriksaan lain seperti posterior –anterior
sefalogram, panoramik dan submental vertex radiografik untuk menganalis
kelainan skeletalnya, sedangkan model dan facebow transfer untuk melihat
oklusi di luar mulut pada model.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Kronmiller JE. Development of asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3): 134.
2.
Fischer B. Asymmetries of the dentofacial complex. Angle Orthod 1954;
24(4): 79-183.
3.
Goldstein RE. Change your smile. 3ed. HongKong: Quintessence Publishing.
1997: 4-5.
4.
Sheats RD, McCorray SP, Musmar Q, Wheeler TT, King GJ. Prevalence of
orthodontic asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3):144.
5.
Burstone CJ. Diagnosis and treatment planning of patient with asymmetries. Semin
Orthod 1998; 4(3): 153.
6.
Burke PH. Serial observation of asymmetry in the growing face. Br J Orthod 1992;
19(4): 273.
7.
Peck S, Peck L, Kataja, M. Skeletal asymmetry in esthetically pleasing faces. Angle
Orthod 1991; 61(1): 47.
8.
Legan HL. Surgical correction of patients with asymmetris. Semin Orthod 1998;
4(3): 190-3
9.
Lewis PD. The deviated midline. Am J Orthod 1976; 70(6): 601.
10.
Bishara SE, Burkey PS, Kharouf JG. Dental and facial asymmetries: a review. Angle
Orthod 1994; 64(2): 92-5.
11.
Margolis MJ. Esthetic consideration in orthodontic treatment of adult. Dent
Clin North Am 1997; 41(1):31-4.
12.
Cheney EA. Dentofacial asymmetries and their clinical significance. Am J
Orthod 1961; 47(11): 814-25.
13.
Grummon DC, van de Coppelo MAK. A Frontal asymmetry analysis. J Clin Orthod 1987;
21(7): 448.
Int. J.
Oral Maxillofac. Surg. 2010; 39: 511–513
doi:10.1016/j.ijom.2009.06.031, available
online at http://www.sciencedirect.com
CEDERA NERVUS ALVEOLAR
INFERIOR YANG DISEBABKAN OLEH BONE WAXPADA PEMBEDAHAN MOLAR KETIGA;
LAPORAN KASUS
C. Katre, A.
Triantafyllou, R. J. Shaw, J. S. Brown
Abstrak
Para penulis menunjukkan suatu kasus dari nervus alveolar inferior yang
tidak biasa diakibatkan oleh karena menggunakan wax untuk
mengontrol hemoragi selama pembedahan molar ketiga. Pasien datang setelah
11 tahun tanpa gejala parestesia dan,akhirnya terasa sakit di area distribusi
kutaneous dari nervus alveolar inferior kanan.Gambaran radiografi
memperlihatkan suatu radiolusensi 1 cm yang sesuai denganneuroma. Pemeriksaan
secara patologi dari potongan lesi yang diambil secara pembedahan
memperlihatkan suatu reaksi benda asin terhadap bone wax. Kasus
inimemberikan penjelasan mengenai kualitas resorpsi yang lemah pada bone wax
dan membutuhkan agen hemostatik yang lain untuk mencapai keberhasilan
hemostasis pada bedah dentoalveolar.
Kata
Kunci : nervus alveolar inferior; morbiditas; bone wax;
kontrol hemoragi; bedahmolar ketiga
Bone wax digunakan secara luas pada pembedahan
kraniomaksilofasial untuk memperoleh hemostatis dari struktur tulang. Bone
wax tidak memilki sifat hemostatik tetapi bekerja melalui tamponading
rongga sumsum. Bone wax pertama digunakan pada pembedahan
oleh Parker pada tahun 1892 dan sekarang sudah biasa digunakan pada
berbagai tindakan operasi untuk mengontrol perdarahan dari tulang. Modernbone
wax mengandung 85-90% beeswax putih dan 10-15% isoprofil palmitat
denganatau tanpa paraffin wax murni. Bone
wax secara umum merupakan bahan yang aman dan tidak berbahaya secara
relatif. Reaksi yang merugikan hanya sedikit, tetapidilaporkan sebagai berikut;
reaksi benda asing tubuh granulomatous, ketikadigunakan di dalam nasal cavity,
orbit, kaki, socket pencabutan gigi, cerebellopontineangle, vein
grafts, otot, dan medulla oblongata. Para penulis melaporkan suatu
kasusdari cedera nervus alveolar inferior yang menyerupai neuroma akibat
dari penggunaan bone wax
pada pembedahan molar ketiga
Laporan kasus
Seorang wanita berusia 29 tahun
menyampaikan memiliki suatu riwayat parestesia selama 2 bulan yang
melibatkan distribusi kutaneous dari nervus mentalkanan. Mati rasa
perlahan-lahan memburuk, yang berakibat kadang-kadangmengeluarkan air liurnya.
Riwayat kesehatannya tidak diberikan, melainkan bedah pencabutan molar ketiga
bawahnya 11 tahun sebelum awal gejalanya muncul.Perincian dari operasi tidak
tersedia, tapi pasien melaporkan mengalami parestesianervus mental bilateral
selama 1 bulan setelah pencabutan gigi gerahamnya, yang berubah secara
spontan dan dia tetap tidak mengalami gejala selama periodeintervensi.
Penilaian secara subjektif dan objektif
memperlihatkan parestesia dalamdistribusi nervus mental kanan. Pemeriksaan
radiografi memperlihatkan suatu lesiradiolusen yang berhubungan dengan kanal
nervus alveolar inferior pada regionmolar ketiga bawah kanan. CT scan pada
mandibula memperlihatkan suatu fokalyang membulat meluas dari kanal alveolar
inferior kanan. Ukuran diameter 9 mm, posterior ke akar gigi molar kedua.
Terlihat menyerupai neuroma pada nervusalveolar inferior yang menyebabkan
tulang fokal yang meluas dari kanal (gambar. 1).Gejala pasien lebih memburuk 3
bulan kemudian dan pasien mengalami rasa sakit pada mandibula kanan.
Permulaan rasa sakit berikutnya pada distribusi nervus mentalkanan dan penemuan
CT, eksplorasi bedah dari lesi ini pada mandibula kananditetapkan. Lesi pada
mandibula kanan diambil secara intra-oral melalui osteotomiramus split sagital
kanan. Secara intraoperatif, suatu pembengkakan fusiform darinervus alveolar
inferior kanan terlihat (gambar. 2). Palpasi lesi terasa keras danterlihat
menyerupai neuroma. Lesi dipotong dan dilakukan pencangkokan nervus(tempat
donor nervus yang tepat). Selanjutnya bagian belahan dan potongan specimenyang
besar dari bone wax diambil (gambar. 3). Pasien mengalami kesembuhan
yang baik dan pada 1 tahun kemudian bebas rasa sakit dan dilaporkan ada
peningkatan beberapa sensasi di area nervus mental kanan. Histopatologi
dari pengambilan jaringan lunak dan benda asing memperlihatkan fascicles
nervus yang merenggangdan tidak menetap berubah-ubah dengan fibrosis hemoragik
yang kemerah-merahanmengandung granuloma benda asing yang sangat kecil yang
tersebar.



Gambar 1 gambar
2 gambar 3
Gambar 1. OPG
memperlihatkan lesi radiolusen di bawah region molar ketiga kanan bawah, Gambar
2. Gambaran intraoperatif memperlihatkan pembengkakan fusiform dari nervus
gigi inferior, Gambar 3. Potongan specimen memperlihatkan
bone wax.
Pembahasan
Bone wax adalah suatu bahan yang paling sering
digunakan sebagai sealanttulang hemostatik dalam praktik klinis. Bone
wax secara umum dianggap aman untuk digunakan pada pembedahan, tetapi bone
wax bertindak sebagai benda asing yang bersifat non-resorbable dan
dihubungkan dengan komplikasi yang potensial. Reaksiyang merugikan pada
bone wax masuk ke dalam 3 kategori; inflamasi sel
giant persistent, peningkatan infeksi, dan penyembuhan tulang yang lambat.
Dalam kasusini, perincian dari operasi awal tidak tersedia, tetapi terdapat
keterangan bahwa bonewax digunakan untuk memperoleh hemostasis dan
ditempatkan secara tertutup dekatatau mungkin terdorong ke dalam kanal nervus
alveolar inferior. Memungkinkanmenyebabkan cedera minor pada saraf selama awal
operasi. Ini ditandai oleh gejala-gejala awal pasien menggambarkan lanjutan
pembedahan pencabutan dari gigigeraham. Secara alami cedera minor pada kanal
nervus alveolar inferior tidak dapat ditentukan tetapi inflamasi dan usaha
melakukan perbaikan/ fibrosis kemungkinan besar. Ini juga memungkinkan
bahwa proses ini diteruskan pada awalnya danmungkin secara berangsur-angsur
diperburuk karena adanya reaksi terhadap bendaasing sebagaimana mestinya
terutama pada gejala-gejala yang muncul.
Berbagai tindakan pembedahan digambarkan untuk memperoleh akses kenervus
alveolar inferior. Penulis menggunakan pendekatan intra-oral melaluiosteotomi
split sagital untuk menyediakan akses yang lebih baik untuk
perencanaan prosedur nerve grafting.
Ini memberi kesan bahwa surgicel merupakan bahan implant
subperiostelyang tidak ideal untuk hemostasis, tetapi Finn dkk memperlihatkan surgicel merupakan
agen yang efektif dalam pengontrolan hemoragi dan memberikanregenerasi dari
jaringan osseous ketika penanaman ke dalam rongga medullary. Surgicel
juga nampaknya mempunyai resisten yang kecil untuk resorpsi,
tidak memperlihatkan reaksi benda asing apapun dan tidak membatasi atau
memperlambat pembentukan dari tulang baru. Bone wax adalah
agen yang aman dan seringdigunakan dalam praktik oral dan maksilofasial, tetapi
kasus ini memperlihatkanmasalah potensial penggunaan bone wax sebagai
agen hemostatik dalam bedah dento-alveolar. Penggunaan dari material non-resorbable menambah resiko infeksi.
Bonewax bertindak sebagai benda
asing dan berlangsung lama dalam tulang selama bertahun-tahun setelah
ditempatkan, dapat mencegah perbaikan tulang. Reaksi bendaasing terhadap bone wax dapat ditekan dan
infiltrasi jaringan neural diperlihatkan dalam kasus ini. Jika para penulis
mengetahui bahwa adanya bone wax pada sebelum bedah, mereka mungkin menggunakan suatu pendekatan
yang kurang agresif, sepertineorotomi dan debridement pada wax.
Para penulis berharap bahwa kasus ini akan mengingatkan para ahli
bedahmengenai kualitas non-resorbable dari bone wax dan potensial untuk
gejala neural jika digunakan untuk tamponade perdarahan pada daerah
nervus. Surgicel merupakan alternative yang sangat baik yang terserap secara menyeluruh,
membantu terjadinya pembentukan tulang dan hanya efektif sebagai agen
hemostatik dalam bedah dentoalveolar.
References
1.
Ainfinsen OG, Sudmann B, Rait M, Bang G, Sudmann E. Complication secondary to
the use of standard bone wax in seven patients. J Foot Ankle Surg 1993:
32:505–508.
2.
Chun C, Patrick K, Vermani R, Mason TE, Johnson F. Bone wax granuloma causing
saphenous vein graft thrombosis. Am Heart J 1988: 115: 1310–1313.
3.
Finn MD, Schow SR, Schneiderman ED. Osseous regeneration in the presence of
four common haemostatic agents. J Oral Maxfac Surg 1992: 50: 608–612.
4.
Katz SE, Rootman J. Adverse effects of bone wax in surgery of the orbit.
Ophthal Plast Reconsr Surg 1996: 12: 121–126.
5.
Low WK, Sim CS. Bone wax granuloma in the mastoid. J for Oto-Rhino-Laryngology
and
its related specialities 2002: 64: 38–40.
6.
Wolvius EB, Van der Wal KGH. Bone wax as a cause of a foreign body granuloma
in
a cranial defect: a case report. Int J Oral Maxillofac Surg 2003: 32: 656–658.
Int. J.
Oral Maxillofac. Surg. 2010; 39: 511–513
doi:10.1016/j.ijom.2009.06.031, available
online at http://www.sciencedirect.com
Inferior
alveolar nerve damage caused by bone wax in third molar surgery
C. Katre,
A. Triantafyllou, R. J. Shaw, J. S. Brown: Inferior alveolar nerve damage
caused by
bone wax in third molar surgery. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2010; 39:
511–513.
#2010 Published by Elsevier Ltd on behalf of International Association of
Abstract.
The authors present a case of inferior alveolar nerve morbidity
attributable to use of bone wax to control haemorrhage during third molar
surgery. The patient presented after 11 symptom-free years with parasthesia
and, eventually pain in the cutaneous distribution of the right inferior
alveolar nerve. Radiographs revealed a 1 cm radiolucency consistent with a
neuroma. Pathological examination of the surgically resected lesion revealed a
foreign body reaction to bone wax. The case illustrates the poor resorption
qualities of bone wax and the need for other haemostatic agents to achieve
haemostasis in dentoalveolar surgery.
Keywords: inferior alveolar nerve; morbidity; bone wax;
haemorrhage control; third molar surgery.
Bone wax is widely used in
craniomaxillofacial surgery to obtain haemostasis from bony structures. It has
no inherent haemostatic property but acts by tamponading the marrow spaces. It
was first used in surgery by Parker in 1892 and is now routinely used in a
variety of operations to
control bleeding from the bone. Modern bone wax is composed of
85–90% white beeswax and 10–15% isopropyl palmitate with or without pure
paraffin wax 5. Bone wax
is generally a safe material and is relatively innocuous. Adverse reactions are
few, but the following have been reported: foreign body granulomatous reactions
when used in the nasal cavity, orbit, foot, tooth extraction socket,
cerebellopontine angle, vein grafts, mastoid and medulla oblongata. The authors
report a case of inferior alveolar nerve damage mimicking a neuroma as a result
of using bone wax in third molar surgery.
Case Report
A 29-year-old woman was referred with a
2 month history of paraesthesia affecting the cutaneous distribution of the
right mental nerve. The numbness was gradually worsening, resulting in
occasional drooling. Her medical history was noncontributory, other than
surgical removal of both her lower third molars 11 years prior to the onset of
her present symptoms. The details of the operation were not available, but she
reported having bilateral mental nerve paraesthesia for 1 month following the
removal of her wisdom teeth, which resolved spontaneously and she remained
asymptomatic in the intervening period.
Subjective and objective assessment
revealed parasthesia in the distribution of the right mental nerve.
Radiographic examination showed a radiolucent lesion associated with the right
inferior alveolar nerve canal in the region of the right lower third molar. A
CT scan of the mandible demonstrated a focal rounded expansion of the right
inferior alveolar canal, measuring
9 mm in diameter, posterior to the roots of the second molar
tooth. The appearance suggested neuroma of the inferior alveolar nerve causing
focal bony expansion of the canal (Fig. 1). The patient’s symptoms worsened over the next 3 months and she
experienced pain in the right mandible. Following the onset of pain in the
right mental nerve distribution and the CT findings, surgical exploration of
the lesion in the right mandible was arranged. The lesion in the right mandible
was approached intra-orally via a right sagittal split ramus osteotomy.
Intraoperatively,
a fusiform swelling of the right inferior alveolar nerve was noted
(Fig. 2). On palpation the lesion
felt firm and its appearance was consistent with a neuroma. The lesion was
excised and the nerve grafted (sural nerve donor site).
Following the resection and on dissecting the specimen a large
piece of bone wax was removed (Fig. 3). The patient made a good recovery and at the 1-year follow-up
was pain free and reported gaining some sensation in the right mental nerve
area. Histopathology of the resected soft tissue and the foreign body showed
variably disorganised and splaying nerve fascicles with florid haemorrhagic
fibrosis containing scattered tiny foreign body granulomas.



Fig 1 fig
2 fig
3
Fig.
1. OPG showing radiolucent lesion in the lower right third molar region. Fig.
2. Intraoperative view showing fusiform swelling of Inferior Dental nerve. Fig.
3. Dissected specimen showing bone wax.
Discussion
Bone wax is the most commonly used
haemostatic bone sealant in clinical practice. It is generally considered safe
to use in surgery, but it acts as a nonresorbable foreign body and is
associated with potential complications. Adverse reactions to bone wax fall
into three categories: persistent giant cell inflammation; promotion of
infection; and delayed bone healing. In this case, the details of the initial
operation were not available, but it was evident that bone wax was used to
obtain haemostasis and was placed in close proximity or possibly pushed into
the inferior alveolar nerve canal, causing possible minor damage to the nerve
during the initial operation. This is suggested by the initial symptoms the
patient described following the surgical nremoval of the wisdom teeth. The
nature of the minor damage to the inferior alveolar nerve cannot be established
but inflammation and attempts at repair/ fibrosis seem likely. It is also
possible that these processes were sustained initially and perhaps gradually
exacerbated due to the foreign body reaction leading to the presenting
symptoms.
Various surgical approaches have been
described to gain access to the inferior alveolar nerve. The authors
used an intra-oral approach via a sagittal split osteotomy as it
gives better access for the planned nerve grafting procedure.
It has been suggested that surgicel is
not the ideal subperiosteal implant material for haemostasis, but Finn et a showed surgicel to be an effective agent in controlling
haemorrhage and allowing the regeneration of osseous tissue when implanted into
the medullary spaces. Surgicel also appeared to have little resistance to
resorption, did not show any foreign body reaction and did not limit or delay
the formation of new bone. Bone wax is a safe agent and is commonly used in
oral and maxillofacial practice, but this case demonstrates potential problems
using bone wax as a haemostatic agent in dento-alveolar surgery. The use of
this non-resorbable material increases the risk of infection. Bone wax acts as a foreign
body and persists in bony sites years after its placement, preventing bony
repair. Foreign body reactions to bone wax may compress and infiltrate neural
tissue as demonstrated in this case. If the authors had been aware of the
presence of bone wax prior to surgery, they might have used a less aggressive
approach, such as neurotomy and debridement of wax. The authors hope that this
case will remind surgeons of the non-resorbable qualities of bone wax and the
potential for neural symptoms if used to tamponade bleeding in the presence of
nerves. Surgicel is an excellent alternative, which is fully resorbed, allows
bone formation and is just as effective a haemostatic agent in dentoalveolar
surgery.
References
1.
Ainfinsen OG, Sudmann B, Rait M, Bang G, Sudmann E. Complication secondary to
the use of standard bone wax in seven patients. J Foot Ankle Surg 1993:
32:505–508.
2.
Chun C, Patrick K, Vermani R, Mason TE, Johnson F. Bone wax granuloma causing
saphenous vein graft thrombosis. Am Heart J 1988: 115: 1310–1313.
3.
Finn MD, Schow SR, Schneiderman ED. Osseous regeneration in the presence of
four common haemostatic agents. J Oral Maxfac Surg 1992: 50: 608–612.
4.
Katz SE, Rootman J. Adverse effects of bone wax in surgery of the orbit.
Ophthal Plast Reconsr Surg 1996: 12: 121–126.
5.
Low WK, Sim CS. Bone wax granuloma in the mastoid. J for Oto-Rhino-Laryngology
and its related specialities 2002: 64: 38–40.
6.
Wolvius EB, Van der Wal KGH. Bone wax as a cause of a foreign body granuloma in
a cranial defect: a case report. Int J Oral Maxillofac Surg 2003: 32: 656–658.
Klo abis bone graff boleh pake g2 palsu ga
BalasHapus