12.06.2012

Jurnal dalam+luar


Penatalaksanaan kerusakan tulang pasca pencabutan dengan teknik bone grafting
Putu Sulistiawati Dewi
                         Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar     

Abstrak
Kerusakan tulang pasca pencabutan merupakan kondisi patologis hilangnya struktur tulang setelah pencabutan akibat tekanan yang berlebihan,tidak terkontrol atau kedua-duanya. Untuk mengatasi masalah itu, dapat dilakukan tindakan bone grafting pada tulang yang rusak tersebut. Bone grafting merupakan teknik pembedahan untuk menempatkan serbuk tulang baru ke dalam

rongga tulang yang rusak atau menempatkan serbuk tulang baru pada soket bekas pencabutan. Bone graft dapat berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft) atau berasal dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor atau dari spesies yang sama tapi beda genetik (allograft). Penempatan bone graft setelah pencabutan diharapkan dapat merangsang pertumbuhan tulang yang baru sekaligus mempercepat proses penyembuhan.
Kata Kunci: kerusakan tulang, bone graft

Korespodensi: Putu Sulistiawati Dewi, Bagian Ilmu Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln Kamboja 11a Denpasar, Telp.(0361) 7424079, 7642701, 261278.

PENDAHULUAN
Tulang merupakan bentukan khusus jaringan ikat yang tersusun oleh kristal mikroskopik kalsiumfosfat terutama hidroksiapatit di dalam matrik kolagen. Kerusakan tulang merupakan suatu kondisi patologis hilangnya stuktur tulang yang disebabkan baik oleh faktor lokal maupun faktor sistemik. Kerusakan tulang dapat disebabkan karena pencabutan gigi yang dilakukan dengan tekanan yang berlebihan atau tidak terkontrol atau kedua-duanya. Pada tindakan pencabutan gigi, dokter gigi harus berusaha untuk melakukan secara ideal dengan teknik yang benar agar bisa mengatasi kesulitan selama pencabutan dan mencegah kemungkinan terjadi komplikasi pencabutan gigi.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat di bidang kedokteran gigi telah memacu perkembangan transplantasi jaringan. Transplantasi bertujuan untuk melakukan rekonstruksi bagian tubuh yang mengalami kerusakan oleh karena penyakit maupun trauma. Dalam melakukan rekonstruksi dibutuhkan jaringan pengganti (graft) yang dapat berasal dari diri sendiri, species yang sama, maupun species yang berbeda. Pencabutan gigi yang melibatkan pengambilan tulang tanpa penanganan lebih lanjut akan menimbulkan kerusakan pada tulang. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan itu, adalah dengan penempatan bone graft pada tulang tersebut.3 Hampir 90 persen pencabutan gigi mengakibatkan kerusakan tulang rahang dalam jangka panjang jika tidak mendapat penanganan lebih lanjut, sehingga rahang tidak berfungsi baik dan kadang diperlukan penggantian tulang rahang.
Dalam pelaksanaannya, pemilihan pasien pada kasus kerusakan tulang merupakan hal yang sangat penting untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.5,6 Perawatan kerusakan tulang dapat dilakukan dengan memberikan bahan yang dapat merekonstruksi kerusakan tulang dengan cara merangsang pembentukan tulang baru.
PENCABUTAN GIGI
Trauma pada gigi atau tulang dapat menyebabkan berubahnya posisi gigi dari tempatnya, fraktur mahkota maupun akar gigi. Semua keadaan ini merupakan salah satu penyebab gigi harus dicabut. Trauma yang lebih berat dapat menyebabkan fraktur tulang rahang dan bila terdapat gigi yang terletak pada garis fraktur, harus dicabut.
Pencabutan gigi yang ideal adalah mengeluarkan gigi atau akar gigi secara utuh, dengan trauma jaringan pendukung gigi yang minimal dan tidak menimbulkan rasa sakit. Kondisi ini membuat luka bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak menyebabkan masalah prostetik pasca operasi dimasa mendatang. Stabilisasi gigi di dalam lengkung gigi tergantung pada keutuhan prosesus alveolaris, ligamen periodontal, serta perlekatan gingiva. Ekspansi alveolus terjadi akibat penggoyangan gigi, dan biasanya diikuti dengan sedikit fraktur pada jaringan tulang pendukung. Keberhasilan pencabutan dengan elevator dan tang tergantung bagaimana kita melonggarkan alveolus, memutus ligamen periodontal, dan memisahkan perlekatan gingiva, oleh karena itu diperlukan tekanan yang terkontrol, pada penggunaan alat tersebut.

KERUSAKAN TULANG
Cacat tulang merupakan suatu kondisi patologik hilangnya struktur tulang yang dapat disebabkan oleh peningkatan reabsorpsi secara normal, penurunan formasi tulang pada saat terjadi reabsorpsi secara normal dan peningkatan reabsorpsi dikombinasikan dengan penurunan formasi tulang. Kerusakan tulang dapat disebabkan oleh faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal penyebab kerusakan tulang adalah terjadinya inflamasi dan traumatik oklusi yang menyebabkan penurunan tinggi tulang alveolar bagian lateral
hingga permukaan akar. Menurut Sudarto, penyebab utama kerusakan tulang adalah pencabutan gigi, trauma dan penyakit rahang seperti kista atau tumor rahang. Kerusakan tersebut sebagian besar (90%) disebabkan karena tindakan pencabutan gigi, terutama yang tidak mendapat penanganan lebih lanjut.
Reaksi pemulihan setelah pencabutan gigi akan berlangsung lama dan tidak akan dapat pulih seperti semula. Gusi cenderung mengempis karena semakin jarang digunakan atau beraktivitas. Hal ini akan berpengaruh pada kondisi tulang gigi, dan selanjutnya akan mengganggu dan menyulitkan pergerakan rahang. Kehilangan gigi dapat diatasi dengan memakai gigi tiruan, namun kerusakan tulang dan pengempisan gusi tidak dapat diatasi sehingga terkadang pasien mengeluhkan gigi tiruannya tanggal. Bone grafting dilakukan untuk merekonstruksi kerusakan-kerusakan tulang yang terjadi.

PERAWATAN CACAT TULANG
Prognosis keberhasilan perawatan suatu cacat tulang dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu: banyaknya dinding tulang yang tersisa, luasnya daerah cacat tulang, banyaknya permukaan akar yang terlibat, luasnya destruksi tulang, kemampuan untuk melakukan detoksifikasi dan debridemen pada daerah cacat. Semakin banyak jumlah dinding tulang dan semakin sempit daerah cacat semakin baik pula prognosisnya. Menurut Manson dan Eley, kegagalan suatu perawatan kerusakan tulang dapat disebabkan oleh faktor pemilihan kerusakan yang keliru, kegagalan untuk menutup flap dengan sempurna di atas kerusakan tulang serta adanya infeksi dan disintegrasi dari bekuan darah.
Menurut Yukna, perawatan kerusakan tulang dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu : 1) Flap/kuretage/ debridement : beberapa laporan menunjuk- kan bahwa pembedahan seperti ini dapat menghasilkan peninggian tulang pada daerah kerusakan dan perawatan ini sangat baik pada kerusakan tulang pada 3 dinding yang sempit, 2) Regenerasi jaringan terpadu: sebagian besar kerusakan infraboni, kelainan furkasi derajat II dan dehiscense menunjukkan hasil yang baik terhadap terapi ini. Pemilihan pasien dan jenis kerusakan yang akan dirawat berperan penting bila biaya yang harus dikeluarkan merupakan suatu pertimbangan, 3)Ekstraksi selektif dan pergerakan gigi minor: bertujuan untuk memberikan prognosis pada gigi sebelahnya, sehingga daerah soket bekas pencabutan akan terisi dan dapat memberikan dukungan yang lebih baik.5,6

BONE GRAFT
Bone graft adalah tulang yang sudah mati, tetapi masih dapat dimanfaatkan untuk rehabilitas kerusakan tulang setelah melalui proses tertentu. Bone grafting merupakan pembedahan untuk menempatkan tulang baru ke dalam rongga tulang yang rusak atau di antara lubang dan tulang mati. Tulang yang baru dapat berasal dari tulang yang sehat dari pasien itu sendiri (autograft), atau berasal dari proses pembekuan tulang orang lain atau donor atau species yang sama tetapi beda genetik (allograft) .Graft dapat berupa bubuk, bentuk pipih, batangan, dan kubus. Bahan bone graft merupakan suatu biomaterial yang memiliki sifat biokompatibilitas sehingga dapat diterima oleh tubuh dan tidak mempunyai pengaruh toksik atau menimbulkan jejas terhadap fungsi biologis. Bone graft dapat dipergunakan untuk memperbaiki tulang yang rusak (fraktur) yang disertai kehilangan tulang, memperbaki tulang yang rusak yang sudah tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat digerakkan lagi atau dapat digerakkan tapi tidak normal, dan sebagai penyambung untuk mencegah pergeseran tulang.
Beberapa aplikasi bone grafting di dalam mulut adalah: menumbuhkan tulang yang hilang akibat penyakit gusi, membentuk tulang rahang yang tidak memadai (defisiensi) untuk melakukan dental implant (hal ini dilakukan jika gigi asli yang hilang pada daerah tersebut terjadi pengurangan massa tulang), menempatkan graft pada daerah sinus untuk pemasangan implant (kehilangan gigi dalam jangka waktu yang panjang akan menyebabkan kehilangan dasar dari tulang rahang atas, sehingga perlu dilakukan grafting untuk penempatan implant) dan memperbaiki kerusakan tulang rahang akibat infeksi gigi atau gigi impaksi.

Jenis-Jenis Bone Graft
Persyaratan dasar bahan graft adalah harus dapat diterima secara imunologis dan harus mempunyai potensi osteogenik serta harus mempunyai sifat osteokonduksi dan osteoinduksi. Bone graft dapat dikelompokkan menjadi empat tipe umum yaitu autograft apabila tulang diambil dari individu yang sama, allograft apabila tulang diambil dari individu yang beda dengan spesies yang sama, xenograft, apabila tulang diambil dari spesies yang berbeda serta graft bahan sintetis.

Autograft
Bahan autograft terdiri dari tulang kortikel, konselus, atau kombinasi keduanya dan bisa didapatkan dari ekstra oral ataupun intra oral. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa tulang konselus memiliki kemungkinan keberhasilan yang lebih besar. Hal ini disebabkan tulang konselus memiliki komposisi yang kurang padat. Walaupun demikian tulang ini lebih sulit diambil dan biasanya tersedia dalam jumlah yang terbatas. Oleh karena itu sebagian besar kasus kerusakan tulang diisi dengan kombinasi tulang kortikol dan konselus dengan prosentase tulang kortikol yang lebih besar. Tulang yang berasal dari intra oral dapat diambil dari koagulum tulang, tuberositas maksila, soket bekas pencabutan atau linggir tak bergigi.
Penggunaan sumsum tulang dari daerah ekstra oral memiliki beberapa kerugian seperti prosedur pengambilannya yang memakan waktu lama, biaya mahal serta sering berefek traumatik terhadap pasien. Bahan dari luar mulut dapat diambil dari tulang Ilium.

Allograft
Bahan Allograft merupakan bahan yang diambil dari individu yang berbeda sehingga dapat menimbulkan respon jaringan yang merugikan dan respon penolakan hospes, kecuali diproses secara khusus. Berbagai usaha yang dilakukan untuk menekan reaksi antigenik adalah dengan proses radiasi, pembekuan atau kimia.

Xenograft
Bahan Xenograft biasanya diambil dari lembu atau babi untuk digunakan pada manusia. Graft hidroksiapatit yang berasal dari lembu dibuat melaui proses kimia (Bio-oss) atau pemanasan tinggi (osteograft/N) untuk menghilangkan bahan organik. Proses ini menghasilkan suatu hidroksiapatit alami tulang manusia. Bentuk lain dari xenograft adalah emdogain, suatu kelompok protein matrik email yang diambil dari babi. Bahan ini nampaknya dapat mendorong pembentukan cementum yang kemudian diikuti oleh deposisi tulang.

Teknik Bone Grafting
Bone graft ditempatkan dengan pasak, papan berlapis besi atau skrup kemudian dijahit tertutup. Splin atau cast biasanya dipergunakan untuk mencegah kerusakan. Untuk perawatan kerusakan tulang dilakukan dengan teknik full thickness flap yaitu pembersihan jaringan granulasi, kemudian lakukan detoksifikasi permukaan akar untuk memudahkan masuknya pembuluh darah dan sel yang baru, lalu tempatkan bahan bone graft ke bagian tulang yang rusak, padatkan dengan tekanan ringan hingga sedikit lebih ke koronal dan pasang dressing, kemudian berikan instruksi pada pasien baik secara lisan maupun tertulis untuk memperkecil kemungkinan komplikasi.

PENATALAKSANAAN BONE GRAFTING
Tahapan bone grafting pada kerusakan tulang pasca pencabutan adalah sebagai berikut: 1) Setelah gigi dicabut, soket ditekan dengan tampon untuk mengontrol perdarahan sehingga daerah bekas pencabutan terlihat jelas. 2) Dilakukan asepsis dan debridemen (pengambilan jaringan granulomatous). Sebelum penempatan bahan bone graft ke dalam soket, semua jaringan granulomatous harus dibersihkan dengan alat kuret atau alat bedah lain yang mempunyai fungsi seperti kuret. Apabila jaringan nekrotik tidak diangkat, maka kemungkinan infeksi dapat terjadi dan pembentukan tulang baru tidak akan terjadi meskipun diisi dengan bahan bone graft. 3) Evaluasi dinding tulang yang masih ada setelah pencabutan dan ukuran kerusakannya. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi sisa dinding tulang pada soket. Faktor yang menentukan banyaknya sisa dinding tulang antara lain adalah parahnya infeksi pada gigi, variasi anatomi dan teknik pencabutan. Apabila dinding tulang fasial rusak, barrier membran digunakan untuk mengisi bahan bone graft. Kegunaan barrier dapat menjaga perkembangan jaringan fibrus. Membran yang dipakai dapat resorbable atau non resorbable. Membran resobable mempunyai banyak keuntungan untuk grafting pada tempat pencabutan. Jika garis incisi terbuka selama penyembuhan, membran non resorbable akan terinfeksi dan mengurangi jumlah regenerasi tulang. 4) Menjamin suplai darah yang adekuat ke daerah sel osteoprogenitor dan sebagai faktor pertumbuhan tulang. Tanpa adanya suplai darah yang adekuat, proses grafting tidak akan berhasil. Jaringan lunak akan mensuplai darah ke daerah graft, sel osteoprogenitor hanya memperoleh suplai darah dari tulang yang berdekatan. Jika dinding tulang mengalami perdarahan setelah pencabutan, suplay vaskuler ke graft akan terjamin. 5)Memilih bahan graft yang akan ditempatkan pada tulang yang rusak. Walaupun sulit didapat tulang autogenus dapat memberikan hasil yang baik karena terdapat elemen-elemen sel-sel yang hidup dan masih aktif sehingga memungkinkan pertumbuhan tulang. Bahan graft dari tulang sintetis atau bahan graft lainnya (PepGen P-15) merupakan bahan graft yang baik dan banyak digunakan sebagai bahan pengganti. 6)Penempatan bahan graft sintetis ke dalam soket bekas pencabutan, kemudian dilakukan penjahitan pada jaringan gusi yang bertujuan untuk penyembuhan di sekitar jaringan lunak. Setelah beberapa waktu diharapkan bahan graft akan mulai meresorbsi dan merangsangpertumbuhan tulang yang baru.
Gambar 1. Penempatan bahan graft sintetis ke soket gigi

PEMBAHASAN
Komplikasi pencabutan gigi bervariasi dan dapat terjadi meskipun sudah dilakukan tindakan sebaik mungkin. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi adalah kerusakan tulang alveolar. Untuk mengetahui adanya kerusakan tulang adalah dengan melihat ada tidaknya fragmen tulang alveolar yang menempel pada akar gigi tersebut. Hal ini dapat terjadi bila tulang alveolar terjepit secara tidak sengaja di antara ujung tang pencabut gigi atau adanya kelainan, misalnya ada infeksi pada tulang. Pencabutan gigi kaninus terkadang disertai komplikasi fraktur tulang labial khususnya bila tulang alveolar diperlemah dengan pencabutan gigi incicivus kedua atau dari gigi premolar pertama sebelum pencabutan gigi kaninus. Bila ketiga gigi ini hendak dicabut pada satu kali kunjungan, insiden fraktur tulang alveolar dapat bertambah.
Gigi yang mengalami infeksi biasanya dikelilingi oleh tulang yang telah rusak atau hancur. Setelah gigi dicabut, akan terjadi resorbsi tulang sehingga selanjutnya menyebabkan terganggunya estetik, prostetik dan struktur tulang. Untuk mengkoreksi kerusakan tulang tersebut dapat dilakukan penambahan bahan dengan teknik Bone grafting yaitu prosedur pembedahan untuk menempatkan bahan tulang pengganti ke dalam tulang yang rusak sehingga dapat menggantikan/menyambung tulang yang hilang atau menempatkan bahan graft ke dalam soket gigi setelah pencabutan. Penggunaan Bone graft bertujuan untuk mengembalikan kehilangan atau kerusakan tulang yang disebabkan oleh penyakit periodontal, trauma atau sakit akibat pemakaian gigi tiruan lepasan. Bone graft juga digunakan untuk menambah tulang untuk penempatan implant, untuk meningkatkan estetik daerah-daerah pada gusi yang hilang di daerah senyum dan mempercepat proses penyembuhan . Ketika satu gigi dicabut, tulang di sekitar akan kolaps sehingga bone graft merupakan indikasi.
Kerusakan tulang pasca pencabutan dapat menimbulkan dampak negatif dari segi estetik, prostetik dan struktur tulang. Kerusakan tersebut dapat dikoreksi dengan teknik bone grafting, yang berfungsi mengembalikan kerusakan tulang atau merangsang pembentukan tulang baru.

DAFTAR PUSTAKA
1. Munadziroh, Rubianto M, Meizarini A. Penggunaan bone gaft pada perawatan kerusakan tulang periodontal. Indonesian Journal of Dentistry 2003; 10 (edisi khusus): 520-25.
2. Howe GL. Pencabutan gigi-geligi (The Extraction of teeth), Johan Arief Budiman (penterjemah). 2ed Jakarta: EGC. 1999.
3. Sudarto W. Cabut gigi tanpa penanganan lanjut. Kompas. 2006
4. Ashman A, Pinto JL. Placement of implant into ridges grafted with bioplant HTR syntetic bone: histological long-term case history report. Journal of oral implantology 2000; 26(4): 276-90
5. Yukna RA. Pelaksanaan cacat tulang: Graft pengganti tulang. In: Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. Silabus Periodonti 2000. 4ed Jakarta: EGC: 125-33.
6. Yukna RA, Evans GH, Aichelmann-Reidy MB. Clinical comparison of bioactive glass bone replacement graft material and expanded poly tetrafluoroethylene barrier membrane in treating human mandibular molar class II furcations. J Periodonto 2001; 72(2): 125-33
7. Pedersen GW. Buku ajar praktis : Bedah Mulut, Purwanto dan Basoeseno (penterjemah). Jakarta: EGC.1996.
8. Carranza FA, McClain P, Schallorn R. Regenerative osseous surgery. In: Newman, Takei, Carranza, Carranza’s clinical periodontology. 9ed Philadelphia: WB Saunders Co. 2002.
9. Fedi PF, Vernino AR, Gray JL. Silabus periodonti 2005 (The Periodontic syllabus), Amaliya (penterjemah). 4ed Jakarta: EGC.
10. Manson JD dan Eley BM. Buku ajar periodonti, Anastasia S (penterjemah). Jakarta: Hipokrates. 1993.
11. Winter R, Nemeth JR. Dental health directory: bone and tissue grafting 1999-2007.Available from: URL:http://www.dental-health.com. Accessed May 12, 2006.
12. Tischler M, Misch CE. Extraction site bone grafting in general dentistry: review of application and principle. Available from : URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd Den Today; 23(5): 108- Accessed May 30, 2004.
13. Artistic Dental Associates. Bone resorbtion occurs after tooth extraction. Available from:
URL:http://artisticteeth.com/Pt_edu/bone_grafting. Accessed sept 12, 2006.
Vol5No2
Asimetri dental dan wajah
Surwandi Walianto
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT
Orthodontic treatment has been associated with dental and facial esthetics. In orthodontic diagnosis and treatment planning, it is important to recognize asymmetry. Undiagnosed asymmetry may cause treatment time to be prolonged due to in change in treatment plan. The cause of facial asymmetry fall into three main categories: trauma related, development defect, or pathology. Asymmetry can be classified into dental, skeletal, muscular, functional, or combination. In diagnosing facial and dental asymmetry, clinical examination and radiographic assessment are necessary to determine the extent of the soft tissue, skeletal and muscle involvement. Clinical evaluation is most important in the diagnosis of asymmetry to assess optimal relationship between dental and skeletal. It is necessary to supplemented diagnostic records by photographs, PA radiograps, study models, facebow transfers.
Key words: asymmetry, dental, facial.

Korespondensi: Surwandi Walianto, Bagian Ortodonsia. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A, Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax.(0361) 261278

PENDAHULUAN
Saat merawat pasien ortodontik, sering ditemukan adanya ketidaksimetrisan pada dental atau wajah dari penderita yang merupakan keluhan dari pasien, maupun yang tidak disadari oleh pasien yang datang. Perawatan ortodontik adalah perawatan yang berhubungan dengan estetika dental dan wajah, oleh karenanya pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan harus diketahui adanya asimetri pada dental dan wajah sehingga didapatkan hasil perawatan yang simetris dengan berimpitnya garis tengah dental rahang atas dan rahang bawah serta garis tengah wajah. Hal ini penting karena pasien datang ke dokter gigi adalah untuk memperbaiki susunan gigi atau penampilan wajahnya. Bila saat melakukan perawatan ortodontik kita tidak menyadari adanya asimetri, akan membuat jangka waktu perawatan menjadi lebih lama karena harus melakukan perubahan pada rencana perawatan.
Relasi oklusi asimetri dapat diakibatkan oleh asimetri pada lengkung gigi atau asimetri relasi skeletal antara maksila dan mandibula. Bila dilakukan pengamatan yang teliti pada wajah, dapat ditemukan beberapa tingkatan asimetri pada seluruh wajah. Asimetri terutama terlihat pada jaringan lunak, dan jaringan keras mempunyai peran yang besar terjadinya asimetri. Banyak metode digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai besarnya asimetri, termasuk evaluasi proporsi vertikal dan horisontal wajah dengan menggunakan foto wajah, analisis radiografik atau pemeriksaan klinis secara langsung.

ASIMETRI
Kesimetrisan adalah adanya kesesuaian ukuran, bentuk dan susunan pada bidang, titik atau garis pada sisi yang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksimetrisan/asimetri dentofasial adalah kompleks yaitu tidak terbatas pada gigi dan prosesus alveolaris saja, tetapi juga seluruh komponen wajah dan seluruh struktur di sekitar gigi. Asimetri dentofasial kompleks dapat terjadi unilateral atau bilateral, jurusan anteroposterior, superoinferior dan mediolateral. Asimetri wajah dapat terjadi pada individu dengan oklusi yang baik, sedangkan
asimetri dental dapat terjadi individu dengan wajah yang simetri, dan keduanya dapat pula terjadi pada individu yang sama.2

PREVALENSI
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat untuk mengetahui prevalensi asimetri pada remaja yang dirawat ortodontik, memperlihatkan hasil bahwa asimetri yang terbanyak adalah deviasi garis tengah mandibula terhadap wajah (62%), diikuti tidak berimpitnya garis tengah kedua rahang (46%), deviasi garis tengah rahang atas terhadap garis tengah wajah (47% pada geligi campuran dan 33% pada geligi permanen), asimetri gigi molar kiri dan kanan pada bidang anteroposterior (22%), asimetri oklusal rahang atas (20%) dan asimetri oklusal rahang bawah (18%).4 Hal ini memperlihatkan bahwa asimetri merupakan hal yang sering ditemui pada kasus-kasus ortodontik.
Sedangkan prevalensi pada remaja yang tidak dirawat ortodontik memperlihatkan hasil sebagai berikut : asimetri molar (30%), garis tengah yang tidak berimpit ( 21%), wajah yang asimetris (12%) dan terlihat hubungan yang bermakna secara statistisk antara asimetri molar dengan asimetri wajah, garis tengah yang berimpit, dan ras.

ETIOLOGI
Penyebab dari asimetri tersebut sangat beragam dan berbeda pada tiap individu. Pada beberapa pasien disebabkan karena erupsi gigi yang tidak normal, gigi sulung yang tanggal terlalu dini, atau akibat pencabutan gigi permanen. Pada pasien yang lain dapat disebabkan kelainan skeletal yang meliputi maksila atau mandibula.5 Meskipun penyebabnya sangat beragam, kelainan-kelainan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu defek perkembangan, trauma, patologi.

ASIMETRI WAJAH
Asimetri wajah merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada bagian yang homolog pada wajah dalam hal ukuran, bentuk dan posisi pada sisi kiri dan kanan. Karena wajah yang asimetri sering disertai ketidaksimetrisan dental, maka keadaan ini merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam merawat suatu maloklusi. Dalam mendiagnosis harus diketahui bahwa asimetri wajah merupakan fenomena alami dan bukanlah merupakan hal yang abnormal. Asimetri keseluruhan struktur wajah dapat dideteksi dengan cara membandingkan bagian yang homolog pada sisi sebelah dari wajah yang sama, distorsi pola pertumbuhan karena luka atau penyakit dapat menimbulkan asimetri yang parah, ketidaksimetrisan struktur wajah tidak mutlak dapat dirawat dengan perawatan ortodontik.2
Pada penelitian yang dilakukan pada individu dengan wajah yang secara estetik tampak menyenangkan ternyata mempunyai struktur wajah yang asimetri pada pemeriksaan dengan posteroanterior sefalogram. Asimetri dentofasial terbanyak terjadi pada mandibula karena didukung jaringan lunak bagian bawah lebih banyak, sedangkan maksila lebih sedikit terjadi asimetri karena jaringan lunak sekitarnya lebih sedikit. Asimetri pada maksila biasanya merupakan akibat dari pertumbuhan mandibula yang asimetri. Asimetri dapat diklasifikasikan sebagai dental, skeletal, otot dan fungsional.

ASIMETRI DENTAL
Asimetri dental dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara jumlah gigi dengan lengkung gigi yang tersedia, ketidakseimbangan antara jumlah gigi rahang atas dan bawah pada segmen yang sama, ketidakseimbangan antara lengkung gigi rahang atas dan bawah secara keseluruhan atau sebagian. Deviasi garis tengah merupakan hal yang umum dan sering ditemui oleh ortodontis. Hal ini terdapat pada seluruh tipe kasus tapi yang paling sering adalah pada maloklusi klas II. Penyebab deviasi garis tengah dapat berupa: gigitan silang posterior karena pergeseran mandibula, pergerakan gigi anterior atas atau bawah, pergeseran ke lateral mandibula (tidak terdapat gigitan silang), asimetri lengkung gigi, atau kombinasi keempat faktor diatas.


DIAGNOSIS
Langkah pertama dalam mendiagnosis adalah menentukan ketidaksimetrisan yang terjadi akibat kelainan skeletal atau dental. Untuk mendiagnosis asimetri dental atau skeletal, dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan radiografik yang menyeluruh pada skeletal, gigi, fungsional dan pola jaringan lunak wajah.
A. Pemeriksaan Klinis
1).Pemeriksaan kesimetrisan wajah pada pasien dengan posisi natural head, mandibula dalam keadaan relasi sentrik, dan jaringan lunak dalam keadaan istirahat.8 Pasien duduk di kursi dan pemeriksa berdiri tepat di depannya. Langkah pertama adalah membuat garis tengah wajah, dapat dilakukan dengan bantuan dental floss yang ditarik pada bidang sagital mulai dari atas kepala sampai bagian terbawah dari dagu. Garis yang terbentuk membagi dua alis mata, mata, zygoma, lubang hidung, bibir, philtrum, sudut gonial.
2).Evaluasi garis tengah dental pada posisi mulut terbuka, relasi sentrik, kontak dini, oklusi sentrik.
3).Evaluasi pergeseran anteroposterior unilateral: kelainan yang terjadi karena perbedaan dalam ukuran, bentuk, posisi dari kedua sisi wajah dalam jurusan anteroposterior horisontal. Gambar 2 memperlihatkan pandangan frontal dan lateral pasien dengan kelainan asimetri karena pergeseran posterior unilateral. Pandangan inferior memperlihatkan jarak sudut gonial kanan ke ujung dagu pasien lebih pendek dibandingkan sisi kiri. Pada pemeriksaan maksila, tidak tampak adanya perbedaan panjang maksila kiri dan kanan. Relasi oklusi gigi memperlihatkan relasi molar Klas I Angle pada sisi kanan, dan Klas II Angle pada sisi kiri. Relasi ini tetap saat posisi istirahat. Pada pandangan oklusal, gigi molar kanan dan kiri tidak
memperlihatkan perbedaan antero- posterior, sedangkan pada mandibula, terlihat gigi molar permanen pertama, gigi molar sulung pertama, kedua dan kaninus sulung lebih ke anterior dibandingkan sisi kiri.12
Gambar 2. Asimetri yang disebabkan oleh pergeseran posterior unilateral mandibula sebelah kiri.12
4). Evaluasi pergeseran vertikal : asimetri yang diakibatkan perbedaan tinggi dalam ukuran, bentuk, posisi bagian–bagian dentofasial pada kedua sisi wajah. Gambar 3 memperlihatkan pasien dengan gigi dan bibir dalam keadaan berkontak. Garis terputus–putus menggambarkan ramus mandibula sebelah kanan lebih tinggi dibandingkan sebelah kiri. Gambaran intra oral memperlihatkan pengaruh asimetri terhadap bidang oklusal. Pada sisi kanan pasien, terlihat bagian maksila lebih besar dan ramus mandibula lebih panjang, bidang oklusalnya lebih rendah. Pada sisi kiri, maksila lebih kecil, ramus mandibula lebih kecil, dan bidang oklusal
lebih tinggi.
Gambar 3. Asimetri karena pergeseran vertical.12
Pasien dengan pergeseran dalam jurusan vertikal (Gambar 4), terlihat mata kiri lebih tinggi
dibandingkan mata kanan. Tulang pipi dan telinga sebelah kiri juga tampak lebih tinggi dibandingkan yang kanan. Maksila sebelah kiri lebih besar dibandingkan yang kanan, dan ramus sebelah kiri lebih panjang dibandingkan sebelah kanan. Gambaran oklusi intra oral memperlihatkan perbedaan tinggi bidang oklusi pada sisi kiri dan kanan.
Gambar 4. Gambaran klinis asimetri karena pergeseran vertikal.
5). Evaluasi pergeseran dalam jurusan lateral: merupakan asimetri yang diakibatkan adanya perbedaan pada jurusan lateral horisontal dalam ukuran, bentuk, posisi bagian–bagian dentofasial pada sisi kiri dibandingkan dengan yang kanan. Pasien dengan kelainan ini (Gambar 5), pada pandangan inferior terlihat ujung dagu bergeser ke arah kanan terhadap bidang tengah sagital. Mata kiri tampak lebih tinggi. Muka bagian bawah memperlihatkan sudut gonial kanan lebih ke lateral terhadap bidang tengah sagital dibandingkan sisi kiri. Telinga sebelah kanan lebih posterior dibandingkan dengan sisi lawannya. Intra oral memperlihatkan gigitan silang pada gigi molar permanen , molar sulung dan kaninus sulung. Pada sisi kiri terlihat perkembangan yang normal. Garis tengah dental mandibula yang bergeser ke kanan saat oklusi dan relasi bukolingual yang merupakan gigitan silang, tetap dalam posisi tersebut saat posisi istirahat.
Gambar 5. Asimetri karena pergeseran horizontal.
6). Evaluasi pergeseran rotasi: pergeseran rotasi adalah suatu asimetri yang disebabkan pergeseran seluruh bagian maksila atau mandibula. Pada Gambar 6 terlihat seorang wanita dengan pergeseran rotasi pada mandibula dan pergeseran anterior unilateral pada maksila kiri. Pergeseran rotasi pada mandibula dilihat pada pandangan inferior mandibula. Ujung dagu dan sudut gonial menentukan adanya rotasi pada mandibula. Pada kelainan tersebut, seluruh mandibula berputar ke arah kanan akibatnya sudut gonial kiri lebih ke anterior dari sebelah
kanan, dagu akan tampak lebih ke kanan terhadap bidang tengah sagital.
Gambar 6. Pergeseran berputar keseluruhan mandibula ke kanan, dan pergeseran ke anterior  maksila kiri.


B. Pemeriksaan radiografik
1). Panoramik radiografik: pemeriksaan ini berguna untuk melihat gigi dan struktur tulang, bentuk kondil dan ramus mandibula kiri dan kanan dapat diperbandingkan.
2). Posterior-anterior sefalogram: teknik ini sangat berguna untuk mempelajari struktur bagian kiri dan kanan wajah, dapat digunakan dengan oklusi sentrik maupun dengan mulut terbuka untuk melihat adanya deviasi fungsional.
3). Submental vertex radiografik: melihat asimetri pada mandibula, zygoma, zygomatic arches.
DISKUSI
Asimetri dental dan wajah secara struktural dapat diklasifikasikan sebagai kelainan dental, skeletal, otot, dan fungsional. Asimetri dental dapat disebabkan oleh kehilangan gigi sulung secara dini, kehilangan gigi secara kongenital, kebiasaan jelek seperti mengisap ibu jari, dan bentuk lengkung gigi yang tidak simetris. Asimetri skeletal dapat pula disebabkan oleh kelainan pada maksila atau mandibula atau meliputi kedua rahang. Kelainan hemifasial atrophy dan cerebral palsy dapat menyebabkan asimetri wajah dan dental karena pengaruh otot-otot yang terlibat. Asimetri karena fungsional biasanya disebabkan oleh karena adanya gangguan yang menghalangi terjadinya intercuspation yang benar pada relasi sentrik. Penyebabnya dapat berupa kontriksi rahang atas atau posisi gigi yang salah. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kontak dini saat relasi sentrik yang mengakibatkan terjadinya pergeseran mandibula.
Kelainan-kelainan tersebut di atas dapat terjadi secara bersamaan, sehingga kita harus dapat\ mendiagnosis dengan benar supaya dapat membuat rencana perawatan yang tepat. Diagnosis adanya asimetri pada dental dan wajah dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiografik atau dapat pula dengan menggunakan foto pasien. Teknik pemeriksaan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masingmasing. Radiografik Panoramik mempunyai kelemahan yaitu distorsi geometrik karena karakteristik dari proyeksinya membuat pembesaran yang terjadi tidak merata. Posterior-anterior sefalogram mempunyai keuntungan dibandingkan panoramik yaitu pembesarannya lebih merata karena jaraknya dari sumber sinar relatif sama, lebih akurat membandingkan bagian kiri dan kanan wajah karena dapat dibuat garis tengah wajah dan gigigeligi. Pemeriksaan menggunakan foto dan radiografik tidaklah sebaik pemeriksaan klinis karena mereka mempresentasikan rekaman yang statis pada satu posisi saat gambar tersebut dibuat. Jika pasien salah dalam posisi mandibula atau posisi kepala miring akan menyebabkan foto atau posterior-anterior sefalogram tidak  akurat.
Analisis frontal sefalogram dalam pelaksanaannya sulit mendapatkan postur kepala yang tepat, dan terjadinya superimpos juga menyebabkan kesulitan dalam identifikasi landmark. Akan tetapi posterior-anterior sefalogram mempunyai kelebihan yaitu dapat mengukur bermacam-macam lebar dental dan skeletal serta asimetri skeletal. Pemeriksaan secara klinis sangat penting dalam mendiagnosis asimetri karena bisa memeriksa pasien dalam relasi sentrik, oklusi sentrik, dan dapat dilakukan penyesuaian pada saat itu juga bila posisi pasien tidak benar. Pemeriksaan klinis memerlukan pemeriksaan tambahan seperti foto, model, facebow transfer, agar lebih akurat.
Asimetri wajah dan dental dapat disebabkan karena kelainan pada struktur dental, skeletal, otot, dan fungsional, serta dapat terjadi secara bersama-sama pada individu yang sama. Oleh sebab itu dalam mendiagnosis asimetri dental dan wajah memerlukan pemeriksaan yang teliti dan hati-hati. Pemeriksaan klinis memegang peranan yang sangat penting dalam mendiagnosis asimetri dental dan wajah pada pasien ortodontik karena posisi
pasien dapat diatur dan disesuaikan pada posisi yang benar. Untuk mendapatkan hasil yang akurat diperlukan juga pemeriksaan lain seperti posterior –anterior sefalogram, panoramik dan submental vertex radiografik untuk menganalis kelainan skeletalnya, sedangkan model dan facebow transfer untuk melihat oklusi di luar mulut pada model.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kronmiller JE. Development of asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3): 134.
2. Fischer B. Asymmetries of the dentofacial complex. Angle Orthod 1954; 24(4): 79-183.
3. Goldstein RE. Change your smile. 3ed. HongKong: Quintessence Publishing. 1997: 4-5.
4. Sheats RD, McCorray SP, Musmar Q, Wheeler TT, King GJ. Prevalence of orthodontic asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3):144.
5. Burstone CJ. Diagnosis and treatment planning of patient with asymmetries. Semin Orthod 1998; 4(3): 153.
6. Burke PH. Serial observation of asymmetry in the growing face. Br J Orthod 1992; 19(4): 273.
7. Peck S, Peck L, Kataja, M. Skeletal asymmetry in esthetically pleasing faces. Angle Orthod 1991; 61(1): 47.
8. Legan HL. Surgical correction of patients with asymmetris. Semin Orthod 1998; 4(3): 190-3
9. Lewis PD. The deviated midline. Am J Orthod 1976; 70(6): 601.
10. Bishara SE, Burkey PS, Kharouf JG. Dental and facial asymmetries: a review. Angle Orthod 1994; 64(2): 92-5.
11. Margolis MJ. Esthetic consideration in orthodontic treatment of adult. Dent Clin North Am 1997; 41(1):31-4.
12. Cheney EA. Dentofacial asymmetries and their clinical significance. Am J Orthod 1961; 47(11): 814-25.
13. Grummon DC, van de Coppelo MAK. A Frontal asymmetry analysis. J Clin Orthod 1987; 21(7): 448.











Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2010; 39: 511–513
doi:10.1016/j.ijom.2009.06.031, available online at http://www.sciencedirect.com
CEDERA NERVUS ALVEOLAR INFERIOR YANG DISEBABKAN OLEH BONE WAXPADA PEMBEDAHAN MOLAR KETIGA; LAPORAN KASUS
C. Katre, A. Triantafyllou, R. J. Shaw, J. S. Brown
Abstrak 
Para penulis menunjukkan suatu kasus dari nervus alveolar inferior yang tidak  biasa diakibatkan oleh karena menggunakan wax untuk mengontrol hemoragi selama pembedahan molar ketiga. Pasien datang setelah 11 tahun tanpa gejala parestesia dan,akhirnya terasa sakit di area distribusi kutaneous dari nervus alveolar inferior kanan.Gambaran radiografi memperlihatkan suatu radiolusensi 1 cm yang sesuai denganneuroma. Pemeriksaan secara patologi dari potongan lesi yang diambil secara pembedahan memperlihatkan suatu reaksi benda asin terhadap bone wax. Kasus inimemberikan penjelasan mengenai kualitas resorpsi yang lemah pada bone wax dan membutuhkan agen hemostatik yang lain untuk mencapai keberhasilan hemostasis pada bedah dentoalveolar.
Kata Kunci : nervus alveolar inferior; morbiditas; bone wax; kontrol hemoragi; bedahmolar ketiga

Bone wax digunakan secara luas pada pembedahan kraniomaksilofasial untuk memperoleh hemostatis dari struktur tulang. Bone wax tidak memilki sifat hemostatik tetapi bekerja melalui tamponading rongga sumsum. Bone wax pertama digunakan pada pembedahan oleh Parker pada tahun 1892 dan sekarang sudah biasa digunakan pada berbagai tindakan operasi untuk mengontrol perdarahan dari tulang. Modernbone wax mengandung 85-90% beeswax putih dan 10-15% isoprofil palmitat denganatau tanpa paraffin wax murni. Bone wax secara umum merupakan bahan yang aman  dan tidak berbahaya secara relatif. Reaksi yang merugikan hanya sedikit, tetapidilaporkan sebagai berikut; reaksi benda asing tubuh granulomatous, ketikadigunakan di dalam nasal cavity, orbit, kaki, socket pencabutan gigi, cerebellopontineangle, vein grafts, otot, dan medulla oblongata. Para penulis melaporkan suatu kasusdari cedera nervus alveolar inferior yang menyerupai neuroma akibat dari penggunaan bone wax pada pembedahan molar ketiga

Laporan kasus
Seorang wanita berusia 29 tahun menyampaikan memiliki suatu riwayat parestesia selama 2 bulan yang melibatkan distribusi kutaneous dari nervus mentalkanan. Mati rasa perlahan-lahan memburuk, yang berakibat kadang-kadangmengeluarkan air liurnya. Riwayat kesehatannya tidak diberikan, melainkan bedah pencabutan molar ketiga bawahnya 11 tahun sebelum awal gejalanya muncul.Perincian dari operasi tidak tersedia, tapi pasien melaporkan mengalami parestesianervus mental bilateral selama 1 bulan setelah pencabutan gigi gerahamnya, yang berubah secara spontan dan dia tetap tidak mengalami gejala selama periodeintervensi.
Penilaian secara subjektif dan objektif memperlihatkan parestesia dalamdistribusi nervus mental kanan. Pemeriksaan radiografi memperlihatkan suatu lesiradiolusen yang berhubungan dengan kanal nervus alveolar inferior pada regionmolar ketiga bawah kanan. CT scan pada mandibula memperlihatkan suatu fokalyang membulat meluas dari kanal alveolar inferior kanan. Ukuran diameter 9 mm, posterior ke akar gigi molar kedua. Terlihat menyerupai neuroma pada nervusalveolar inferior yang menyebabkan tulang fokal yang meluas dari kanal (gambar. 1).Gejala pasien lebih memburuk 3 bulan kemudian dan pasien mengalami rasa sakit pada mandibula kanan. Permulaan rasa sakit berikutnya pada distribusi nervus mentalkanan dan penemuan CT, eksplorasi bedah dari lesi ini pada mandibula kananditetapkan. Lesi pada mandibula kanan diambil secara intra-oral melalui osteotomiramus split sagital kanan. Secara intraoperatif, suatu pembengkakan fusiform darinervus alveolar inferior kanan terlihat (gambar. 2). Palpasi lesi terasa keras danterlihat menyerupai neuroma. Lesi dipotong dan dilakukan pencangkokan nervus(tempat donor nervus yang tepat). Selanjutnya bagian belahan dan potongan specimenyang besar dari bone wax diambil (gambar. 3). Pasien mengalami kesembuhan yang baik dan pada 1 tahun kemudian bebas rasa sakit dan dilaporkan ada peningkatan beberapa sensasi di area nervus mental kanan. Histopatologi dari pengambilan jaringan lunak dan benda asing memperlihatkan fascicles nervus yang merenggangdan tidak menetap berubah-ubah dengan fibrosis hemoragik yang kemerah-merahanmengandung granuloma benda asing yang sangat kecil yang tersebar.
http://htmlimg3.scribdassets.com/5023adaeyo1e7jrm/images/6-d4110e20fd.jpg
                        Gambar 1                                gambar 2                     gambar 3
Gambar 1. OPG memperlihatkan lesi radiolusen di bawah region molar ketiga kanan bawah, Gambar 2. Gambaran intraoperatif memperlihatkan pembengkakan fusiform dari nervus gigi inferior, Gambar 3. Potongan specimen memperlihatkan bone wax.

Pembahasan
Bone wax adalah suatu bahan yang paling sering digunakan sebagai sealanttulang hemostatik dalam praktik klinis. Bone wax secara umum dianggap aman untuk digunakan pada pembedahan, tetapi bone wax bertindak sebagai benda asing yang bersifat non-resorbable dan dihubungkan dengan komplikasi yang potensial. Reaksiyang merugikan pada
bone wax masuk ke dalam 3 kategori; inflamasi sel giant persistent, peningkatan infeksi, dan penyembuhan tulang yang lambat. Dalam kasusini, perincian dari operasi awal tidak tersedia, tetapi terdapat keterangan bahwa bonewax digunakan untuk memperoleh hemostasis dan ditempatkan secara tertutup dekatatau mungkin terdorong ke dalam kanal nervus alveolar inferior. Memungkinkanmenyebabkan cedera minor pada saraf selama awal operasi. Ini ditandai oleh gejala-gejala awal pasien menggambarkan lanjutan pembedahan pencabutan dari gigigeraham. Secara alami cedera minor pada kanal nervus alveolar inferior tidak dapat ditentukan tetapi inflamasi dan usaha melakukan perbaikan/ fibrosis kemungkinan besar. Ini juga memungkinkan bahwa proses ini diteruskan pada awalnya danmungkin secara berangsur-angsur diperburuk karena adanya reaksi terhadap bendaasing sebagaimana mestinya terutama pada gejala-gejala yang muncul.
Berbagai tindakan pembedahan digambarkan untuk memperoleh akses kenervus alveolar inferior. Penulis menggunakan pendekatan intra-oral melaluiosteotomi split sagital untuk menyediakan akses yang lebih baik untuk perencanaan prosedur nerve grafting.
Ini memberi kesan bahwa surgicel merupakan bahan implant subperiostelyang tidak ideal untuk hemostasis, tetapi Finn dkk memperlihatkan surgicel merupakan agen yang efektif dalam pengontrolan hemoragi dan memberikanregenerasi dari jaringan osseous ketika penanaman ke dalam rongga medullary. Surgicel  juga nampaknya mempunyai resisten yang kecil untuk resorpsi, tidak memperlihatkan reaksi benda asing apapun dan tidak membatasi atau memperlambat pembentukan dari tulang baru. Bone wax adalah agen yang aman dan seringdigunakan dalam praktik oral dan maksilofasial, tetapi kasus ini memperlihatkanmasalah potensial penggunaan bone wax sebagai agen hemostatik dalam bedah dento-alveolar. Penggunaan dari material non-resorbable menambah resiko infeksi.
 Bonewax bertindak sebagai benda asing dan berlangsung lama dalam tulang selama bertahun-tahun setelah ditempatkan, dapat mencegah perbaikan tulang. Reaksi bendaasing terhadap bone wax dapat ditekan dan infiltrasi jaringan neural diperlihatkan dalam kasus ini. Jika para penulis mengetahui bahwa adanya bone wax pada sebelum  bedah, mereka mungkin menggunakan suatu pendekatan yang kurang agresif, sepertineorotomi dan debridement pada wax.
Para penulis berharap bahwa kasus ini akan mengingatkan para ahli bedahmengenai kualitas non-resorbable dari bone wax dan potensial untuk gejala neural jika digunakan untuk tamponade perdarahan pada daerah nervus. Surgicel  merupakan alternative yang sangat baik yang terserap secara menyeluruh, membantu terjadinya pembentukan tulang dan hanya efektif sebagai agen hemostatik dalam bedah dentoalveolar.
References
1. Ainfinsen OG, Sudmann B, Rait M, Bang G, Sudmann E. Complication secondary to the use of standard bone wax in seven patients. J Foot Ankle Surg 1993: 32:505–508.
2. Chun C, Patrick K, Vermani R, Mason TE, Johnson F. Bone wax granuloma causing saphenous vein graft thrombosis. Am Heart J 1988: 115: 1310–1313.
3. Finn MD, Schow SR, Schneiderman ED. Osseous regeneration in the presence of four common haemostatic agents. J Oral Maxfac Surg 1992: 50: 608–612.
4. Katz SE, Rootman J. Adverse effects of bone wax in surgery of the orbit. Ophthal Plast Reconsr Surg 1996: 12: 121–126.
5. Low WK, Sim CS. Bone wax granuloma in the mastoid. J for Oto-Rhino-Laryngology
and its related specialities 2002: 64: 38–40.
6. Wolvius EB, Van der Wal KGH. Bone wax as a cause of a foreign body granuloma
in a cranial defect: a case report. Int J Oral Maxillofac Surg 2003: 32: 656–658.



Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2010; 39: 511–513
doi:10.1016/j.ijom.2009.06.031, available online at http://www.sciencedirect.com
Inferior alveolar nerve damage caused by bone wax in third molar surgery
C. Katre, A. Triantafyllou, R. J. Shaw, J. S. Brown: Inferior alveolar nerve damage
caused by bone wax in third molar surgery. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2010; 39:
511–513. #2010 Published by Elsevier Ltd on behalf of International Association of

Abstract.
The authors present a case of inferior alveolar nerve morbidity attributable to use of bone wax to control haemorrhage during third molar surgery. The patient presented after 11 symptom-free years with parasthesia and, eventually pain in the cutaneous distribution of the right inferior alveolar nerve. Radiographs revealed a 1 cm radiolucency consistent with a neuroma. Pathological examination of the surgically resected lesion revealed a foreign body reaction to bone wax. The case illustrates the poor resorption qualities of bone wax and the need for other haemostatic agents to achieve haemostasis in dentoalveolar surgery.
Keywords: inferior alveolar nerve; morbidity; bone wax; haemorrhage control; third molar surgery.


Bone wax is widely used in craniomaxillofacial surgery to obtain haemostasis from bony structures. It has no inherent haemostatic property but acts by tamponading the marrow spaces. It was first used in surgery by Parker in 1892 and is now routinely used in a variety of operations to
control bleeding from the bone. Modern bone wax is composed of 85–90% white beeswax and 10–15% isopropyl palmitate with or without pure paraffin wax 5. Bone wax is generally a safe material and is relatively innocuous. Adverse reactions are few, but the following have been reported: foreign body granulomatous reactions when used in the nasal cavity, orbit, foot, tooth extraction socket, cerebellopontine angle, vein grafts, mastoid and medulla oblongata. The authors report a case of inferior alveolar nerve damage mimicking a neuroma as a result of using bone wax in third molar surgery.

Case Report
A 29-year-old woman was referred with a 2 month history of paraesthesia affecting the cutaneous distribution of the right mental nerve. The numbness was gradually worsening, resulting in occasional drooling. Her medical history was noncontributory, other than surgical removal of both her lower third molars 11 years prior to the onset of her present symptoms. The details of the operation were not available, but she reported having bilateral mental nerve paraesthesia for 1 month following the removal of her wisdom teeth, which resolved spontaneously and she remained asymptomatic in the intervening period.
Subjective and objective assessment revealed parasthesia in the distribution of the right mental nerve. Radiographic examination showed a radiolucent lesion associated with the right inferior alveolar nerve canal in the region of the right lower third molar. A CT scan of the mandible demonstrated a focal rounded expansion of the right inferior alveolar canal, measuring
9 mm in diameter, posterior to the roots of the second molar tooth. The appearance suggested neuroma of the inferior alveolar nerve causing focal bony expansion of the canal (Fig. 1). The patient’s symptoms worsened over the next 3 months and she experienced pain in the right mandible. Following the onset of pain in the right mental nerve distribution and the CT findings, surgical exploration of the lesion in the right mandible was arranged. The lesion in the right mandible was approached intra-orally via a right sagittal split ramus osteotomy. Intraoperatively,
a fusiform swelling of the right inferior alveolar nerve was noted (Fig. 2). On palpation the lesion felt firm and its appearance was consistent with a neuroma. The lesion was excised and the nerve grafted (sural nerve donor site).
Following the resection and on dissecting the specimen a large piece of bone wax was removed (Fig. 3). The patient made a good recovery and at the 1-year follow-up was pain free and reported gaining some sensation in the right mental nerve area. Histopathology of the resected soft tissue and the foreign body showed variably disorganised and splaying nerve fascicles with florid haemorrhagic fibrosis containing scattered tiny foreign body granulomas.
5-11bfc486045-11bfc486042http://htmlimg3.scribdassets.com/5023adaeyo1e7jrm/images/6-d4110e20fd.jpg
                        Fig 1                            fig 2                                                     fig 3
Fig. 1. OPG showing radiolucent lesion in the lower right third molar region. Fig. 2. Intraoperative view showing fusiform swelling of Inferior Dental nerve. Fig. 3. Dissected specimen showing bone wax.

Discussion
Bone wax is the most commonly used haemostatic bone sealant in clinical practice. It is generally considered safe to use in surgery, but it acts as a nonresorbable foreign body and is associated with potential complications. Adverse reactions to bone wax fall into three categories: persistent giant cell inflammation; promotion of infection; and delayed bone healing. In this case, the details of the initial operation were not available, but it was evident that bone wax was used to obtain haemostasis and was placed in close proximity or possibly pushed into the inferior alveolar nerve canal, causing possible minor damage to the nerve during the initial operation. This is suggested by the initial symptoms the patient described following the surgical nremoval of the wisdom teeth. The nature of the minor damage to the inferior alveolar nerve cannot be established but inflammation and attempts at repair/ fibrosis seem likely. It is also possible that these processes were sustained initially and perhaps gradually exacerbated due to the foreign body reaction leading to the presenting symptoms.
Various surgical approaches have been described to gain access to the inferior alveolar nerve. The authors
used an intra-oral approach via a sagittal split osteotomy as it gives better access for the planned nerve grafting procedure.
It has been suggested that surgicel is not the ideal subperiosteal implant material for haemostasis, but Finn et a  showed surgicel to be an effective agent in controlling haemorrhage and allowing the regeneration of osseous tissue when implanted into the medullary spaces. Surgicel also appeared to have little resistance to resorption, did not show any foreign body reaction and did not limit or delay the formation of new bone. Bone wax is a safe agent and is commonly used in oral and maxillofacial practice, but this case demonstrates potential problems using bone wax as a haemostatic agent in dento-alveolar surgery. The use of this non-resorbable material increases the risk of infection. Bone wax acts as a foreign body and persists in bony sites years after its placement, preventing bony repair. Foreign body reactions to bone wax may compress and infiltrate neural tissue as demonstrated in this case. If the authors had been aware of the presence of bone wax prior to surgery, they might have used a less aggressive approach, such as neurotomy and debridement of wax. The authors hope that this case will remind surgeons of the non-resorbable qualities of bone wax and the potential for neural symptoms if used to tamponade bleeding in the presence of nerves. Surgicel is an excellent alternative, which is fully resorbed, allows bone formation and is just as effective a haemostatic agent in dentoalveolar surgery.

References
1. Ainfinsen OG, Sudmann B, Rait M, Bang G, Sudmann E. Complication secondary to the use of standard bone wax in seven patients. J Foot Ankle Surg 1993: 32:505–508.
2. Chun C, Patrick K, Vermani R, Mason TE, Johnson F. Bone wax granuloma causing saphenous vein graft thrombosis. Am Heart J 1988: 115: 1310–1313.
3. Finn MD, Schow SR, Schneiderman ED. Osseous regeneration in the presence of four common haemostatic agents. J Oral Maxfac Surg 1992: 50: 608–612.
4. Katz SE, Rootman J. Adverse effects of bone wax in surgery of the orbit. Ophthal Plast Reconsr Surg 1996: 12: 121–126.
5. Low WK, Sim CS. Bone wax granuloma in the mastoid. J for Oto-Rhino-Laryngology and its related specialities 2002: 64: 38–40.
6. Wolvius EB, Van der Wal KGH. Bone wax as a cause of a foreign body granuloma in a cranial defect: a case report. Int J Oral Maxillofac Surg 2003: 32: 656–658.



1 komentar: